| Lokasi Penemuan | : | Di Ladang milik Munjiah dan Suyitno, RT 03 RW 09, Ganang, Ngawis, Karangmojo, Gunungkidul, DIY |
| Bahan Utama | : | Batu Batu Putih |
| Keterawatan | : | Utuh dan Terawat,Tidak Utuh / |
| Dimensi Benda | : |
Panjang 161 cm Lebar 90 cm Tinggi 75 cm Tebal - Diameter - Berat - |
| Peristiwa Sejarah | : | Sejarah Pemanfaatan Candi Ganang Sejauh informasi yang diperoleh mengenai sejarah candi yang terdapat di wilayah Ganang ini, belum ditemukan satu penelitianpun yang pernah dilakukan terhadap temuan ditempat tersebut. Menilik besarnya jumlah temuan yang berada di lokasi disertai dengan informasi dari narasumber berdasarkan pengamatan pada masa lalu maka dapat diketahui bahwa reruntuhan candi Ganang semula berwujud dua buah gundukan tanah berisi material balok batu setinggi 2 meter. Almarhum Diyorejo yang memiliki tanah tersebut kemudian memindahkan batu-batu serta tanah dari gundukan tersebut dalam rangka kegiatan pertanian. Menurut penjelasan Munjiah (61 tahun) dan Suyitno (63 tahun) – kakak beradik yang merupakan anak Diyorejo, mengatakan bahwa orang tua mereka sering menceritakan kalau di lahan tersebut masih banyak batu beraneka ragam bentuk yang masih berada di dalam tanah. Sebelum digunakan sebagai lahan pertanian dan rumah tinggal, pekarangan Diyorejo berupa tanah berbukit dengan balok balok batu yang berserakan di atas permukaannya. Ketika orang tua mereka membangun rumah di tempat tersebut, kedua bukit kemudian mereka “bersihkan” dijadikan tegalan hingga menjadi datar seperti sekarang ini. Sisa-sisa batu yang masih dapat ditemui di atas permukaan tanah saat ini diantaranya adalah batu-batu balok besar dan kecil, batu bertakik, batu umpak, yoni, fragmen kemuncak candi dan batu-batu isian candi, Menurut penjelasan kepala Padukuhan setempat yang bernama Handoko (43 tahun), batu-batu yang tersebar di lingkungan pekarangan Diyorejo dimanfaatkan untuk dijadikan batu talud penahan tanah. Sebarannya merata di seluruh lahan milik Munjiah dan Suyitno. Sejumlah batu lainnya bahkan menyebar hingga jauh ke arah utara, di dekat sumber air milik masyarakat Padukuhan Ganang. Batu yang dimaksud Handoko diduga berupa umpak batu bahkan mungkin Yoni juga. Berdasarkan atas keterangan dari seluruh narasumber dan hasil temuan batu yoni maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Candi Ganang merupakan candi berlatar Hindu. Dengan demikian diduga tempat tersebut semula merupakan bangunan candi Hindu dan pernah dimanfaatkan oleh masyarakat penganut Budaya Hindu yang pernah hidup pada periode klasik yaitu Abad IX-X Masehi. Sejarah Pelestarian Batu Kemuncak Candi Ganang Menurut penjelasan ketiga orang narasumber, maka dapat diketahui bahwa sejumlah benda-benda yang berada di Candi Ganang pernah diselamatkan oleh pemerintah yang yaitu oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY (Sekarang BPK Wilayah X) pada tahun 80-an. Temuan yang diselamatkan berupa sebuah arca peruggu dan sebuah batu lapik dari bahan andesit yang masih terdapat fragmen kaki di atasnya. Kedua benda tersebut ditemukan terpendam di dalam tanah oleh Diyorejo, di sebelah timur ladang tepatnya di dekat pohon bambu. Kedua temuan saat ini masih di simpan di Kantor BPK Wilayah X Bogem. Pada saat diselamatkan, Diyorejo mendapatkan kompensasi berupa uang sejumlah Rp. 75.000,-. Handoko menambahkan, meskipun lapik arca sudah dibawa ke kantor BPK Wilayah X, badan arca sesungguhnya masih berada di lokasi namun dipendam di dalam tanah di lokasi yang tidak diketahui. Kegiatan penyelamatan di Candi Ganang kemudian tidak dilakukan lagi hingga saat ini. Banyak temuan lain yang masih berada di dalam tanah yang masih berpotensi untuk diungkap dengan metode penelitian arkeologi yang sistematis. |
| Konteks | : | Makna Kemuncak Candi Kemuncak candi sebagai bagian dari bangunan merupakan komponen yang sangat penting, mengingat dari bentuk kemuncak candi dapat diketahui latar agama candi tersebut. Secara umum Soekiman menjalaskan bahwa latar keagamaan dapat dikenali. berdasarkan bentuk kemuncaknya. Kemuncak pada candi Hindu berupa ratna dan kemuncak pada candi Budha berupa stupa, dan pada beberapa candi di Jawa Timur memiliki kemuncak berupa kubus. Kemuncak merupakan istilah yang umumnya digunakan untuk menyebut bagian puncak bangunan (atap). Istilah kemuncak tidak terdapat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, namun kemuncak mengacu pada kata puncak yang berarti titik atau bagian tertinggi (summit, peak : Ing.). Di dalam istilah arsitektur puncak bangunan dikenal dengan istilah pinnacle (Ing.). Pada beberapa bangunan bagian (atap) kemuncak diberi hiasan kemuncak atau dibentuk menjadi hiasan kemuncak. Di dalam istilah arsitektur hiasan kemuncak disebut mahkota atap, namun ada juga yang menyebutnya sebagai finial (Ing.). Seringkali hiasan kemuncak disebut kemuncak saja, karena kemuncak sudah menunjuk pada bagian puncak atap sekaligus hiasan kemuncak. Sementara itu, berdasarkan kajian tipo-morfologi candi-candi di Jawa, Prajudi (1999: 84) menggunakan istilah mahkota atap untuk menyebut kemuncak. Berdasarkan bentuknya mahkota atap diklasifikasikan menjadi 4 tipe, yaitu: (1) shikara, (2) stupa, (3) ratna, dan (4) kubus. Berbeda dengan Prajudi, berdasarkan hasil identifikasi Atmadi (1994: 25) terhadap relief di Candi Borobudur terdapat 3 tipe kemuncak pada bangunan berbahan batu (layered stone), yaitu: (1) stupa-shape (stupa); (2) jewel-shape (ratna); dan (sulur-suluran) leafshape (sulur-suluran) (lihat gambar 3). Secara umum kemuncak candi terdiri atas 2 atribut, yaitu komponen dan ornamen. Komponen ialah suatu bentuk atau kesatuan bentuk (terdiri dari beberapa bentuk). Komponen bersifat primer (pokok), karena komponen menyusun bentuk kemuncak (ratna atau stupa). Sementara itu, ornamen ialah hiasan yang melekat pada komponen. Ornamen tidak selalu ada pada setiap kemuncak, karena ornamen hanya bersifat sekunder (tambahan), sebagai penghias. Komponen kemuncak dalam hal ini candi-candi yang berada di Indonesia, memiliki karakter yang berbeda dari pendekatan ikonografi. Karena dari berbagai sumber acuan ternyata masing-masing komponen memiliki penamaan yang berbeda dari sudut ikonografinya. Di dalam memberikan penamaan komponen kemuncak, pendekatan ikonografi yang paling banyak digunakan menggunakan rujukan dari sumber An Encyclopaedia of Hindu Architecture (Acharya, 1979), Iconographic Dictionary of the Indian Religions (Liebert, 1976), dan The Ākāśaliṅga Finial (Dhaky, 1974). Pendakatan dari sisi ikonografi dianggap menjadi pendekatan yang paling praktis hingga saat ini. Disamping alasan tersebut, penggunaan istilah ikonografi digunakan sebagai pedoman dalam mengidentifikasi laksana. Di dalam konteks ini, laksana ialah komponen-komponen kemuncak yang digunakan sebagai penanda untuk membedakan antara satu bentuk kemuncak dengan bentuk lainnya. Berikut ini adalah penamaan komponen-komponen kemuncak berdasarkan istilah ikonografis : yang dikutip dari Acharya (1979), Dhaky (1974), dan Liebert (1976) sebagai pedoman di dalam mengidentifikasi laksana kemuncak. Laksana yang dapat teridentifikasi pada kemuncak bentuk ratna, terdiri atas: Akasalinga, Kalasa, Karpara, Amalaka, Kumuda, Antefiks, dan Bandha. Laksana Candi Ganang sesuai dengan ikonografi yang disebut diatas maka memiliki kemuncak ratna dengan finial Akasalinga. Ikonografi bentuk di atas memiliki finial finial berupa silindrik atau prismatik. Berbeda dengan bentuk stupa yang komponennya relatif sama (tetap), bentuk ratna terdiri atas komponen yang lebih bervariasi. Hal ini dapat diamati dari beberapa bentuk ratna. Meskipun secara umum disebut sebagai bentuk ratna, akan tetapi sejauh ini belum terdapat deskripsi yang jelas mengenai bentuk dan komponen apa saja yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi bentuk ratna. Namun secara umum dapat disimpulkan bahwa candi yang kemuncaknya berbentuk ratna mempunyai sifat keagamaan Hindu, dan yang kemuncaknya berbentuk stupa mempunyai sifat keagamaan Buddha. Menurut dhkay, khusus mengenai kmuncak berbentuk Akasalinga di Jawa cukup menarik karena selain di India elemen ini tidak banyak ditemukan di Asia Tenggara daratan, yang juga mendapat pengaruh India. Penelitian Parmono Atmadi terhadap relief Candi Borobudur (1994) di dalam disertasinya yang berjudul Some Architectural Design Principles of Temples in Java, menyebutkan terdapat tiga bentuk hiasan atap bangunan berbahan batu (layered stone structure), dari hasil identifikasinya berdasarkan relief-relief di Candi Borobudur. Ketiga bentuk tersebut adalah: bentuk stupa, bentuk mahkota (jewel-shape), dan bentuk dedaunan (leaf-shape). Selain melakukan identifikasi, Atmadi juga menggambar beberapa bangunan yang terdapat di relief candi Borobudur.Rahadhian Prajudi (1999) dalam tesisnya yang berjudul Kajian Tipo-Morfologi Arsitektur Candi di Jawa engklasifikasikan bentuk mahkota atap (kemuncak) candi di Jawa menjadi 4 tipe, yaitu: shikara, stupa, ratna, dan kubus. Prajudi memasukkan kemuncak candi Dieng dan Gedong Songo ke dalam tipe shikara, kemuncak candi Prambanan ke dalam tipe ratna, kemuncak candi-candi Buddha ke dalam tipe stupa, dan kemuncak candi-candi Jawa Timur ke dalam tipe kubus. Meskipun Prajudi membuat klasifikasi berdasarkan bentuk mahkota atap, Prajudi tidak mendeskripsikan secara detail mengenai tipe-tipe tersebut. |
| Nama Pemilik Terakhir | : | Masyarakat |
| Nama Pengelola | : | Masyarakat |