Bangunan Islam 1 M 1500 M (1773)
Nama Lainnya : Masjid Gede Kauman
Masjid Kauman atau biasa disebut Masjid Gede Kauman terletak di Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta. Tepatnya, berada di sebelah barat Alun-alun utara Keraton Yogyakarta.
Masjid ini dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1773 M dengan arsitek bernama K. Wiryokusumo. Penghulu pertama masjid ini bernama Kyai Faqih Ibrahim Diponingrat. Pada tahun 1775 M pembangunan dilanjutkan lagi dengan menambahkan serambi.
Masjid ini dibangun dengan gaya arsitektur tradisional Jawa. Bagian atap masjid memakai model tajug bersusun tiga pada ruang utama dan limasan pada serambi. Bagian kemuncak atap model tajug dilengkapi mustoko yang berbentuk gada dengan hiasan stiliran daun kluwih. Beberapa komponen penyusun atap seperti usuk dan reng disusun ngruji payung dengan penutup atap berupa sirap. Dinding masjid terbuat dari susunan bata yang diplester. Lantai masjid sudah dipasangi keramik.
Seperti masjid-masjid kuno di Jawa, masjid ini memiliki ruang utama, serambi, pawestren (tempat ibadah bagi jamaah perempuan), tempat wudlu, dan kolam kecil. Ruang utama masjid berdenah bujur sangkar. Di dalam ruang utama terdapat empat tiang Sokoguru penopang atap tajug, 12 tiang Sokorowo (tiang tambahan), mihrab (tempat pengimaman), mimbar (tempat khotib berkutbah), dan maksurah (tempat ibadah bagi raja). Selain itu, ruang utama juga dilengkapi dengan beberapa jendela dan pintu dengan kusen yang terbuat dari kayu. Di sisi selatan ruang utama terdapat pawestren, sedangkan di sisi utara ruang utama terdapat tempat wudlu.
Serambi berada di sisi timur ruang utama dan berdenah persegi panjang. Di dalam serambi terdapat tiang-tiang penopang atap limasan (delapan tiang utama dan 16 tiang tambahan), bedug, dan kentongan. Di sekeliling serambi terdapat kolam kecil yang dulu difungsikan sebagai tempat membasuh kaki sebelum masuk ke masjid. Kolam kecil tersebut saat ini tidak difungsikan lagi seperti dulu.
Di sekitar masjid juga terdapat makam (sebelah barat masjid), bangunan perpustakaan (dulu difungsikan sebagai tempat istirahat prajurit ketika mengawal raja di masjid), gapura/pintu gerbang utama berbentuk semar tinandu (sebelah timur masjid), dan dua buah pagongan (difungsikan sebagai tempat seperangkat gamelan saat perayaan sekaten).
Referensi
Adrisijanti-Romli, dkk (ed). 2009. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1349/masjid-agung-yogyakarta/";
Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta didirikan setelah Sri Sultan Hamengku Buwono I selesai membangun Kraton Yogyakarta. Masjid ini merupakan bangunan peribadatan untuk rakyat Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat sekaligus sebagai komponen utama dalam kelengkapan kota sebagai ibukota/ kuthanegoro saat itu yaitu alun- alun, kompleks keraton, masjid, dan pasar. Letak Masjid Gedhe berada di sebelah barat laut keraton, tepat di tepi barat alun-alun utara. Keberadaan empat komponen yang terdiri atas alun-alun yang dikelilingi bangunan pusat pemerintahan di selatannya, masjid di sisi barat, dan pasar di bagian utara merupakan komponen yang selalu ada pada kota tradisional di Jawa. Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta ini merupakan Masjid Keprabon.
Tata ruang Masjid Gedhe Kraton Yogyakarta terdiri atas
beberapa komponen, yaitu:
a. Pecak Suci; berupa koridor (jalur beratap) dari pagar serambi menuju serambi masjid dengan panjang 14 m dan lebar 5 m. Jalur ini sebagai jalan utama bagi sultan saat memasuki Masjid Gedhe. Bentuk arsitektur Pecak Suci adalah Limasan Jebengan Gajah Mungkur, yaitu kombinasi atap kampung (pelana) dan limasan. Bentuk Atap kampung berada pada ujung timur (bagian depan) serta bentuk atap limasan berada pada ujung sisi barat (belakang). Pada bagian depan di sisi timur ditambah pedimen berbentuk setengah lingkaran, dengan hiasan bintang bulan sabit di puncaknya. Pada bidang tympanum berbahan papan kayu dihias dengan jam bulat yang berada di dalam lambang â€Cihnaning Pribadi HB VIIIâ€. Pada masa sebelumnya, hiasan lambang keraton ini berupa praja cihna Hamengku Buwana VII yang memiliki desain yang berbeda.
b. Serambi; didirikan dua tahun setelah pendirian bangunan utama masjid. Bagian ini digunakan sebagai tempat salat bila ruang utama telah penuh
jamaah, serambi ini juga digunakan sebagai tempat untuk menyelesaikan urusan keduniawian seperti pengajian, dakwah, pemikahan, pembagian waris, pemberangkatan jenazah setelah disalatkan, dan pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat pertemuan para ulama sekaligus sebagai tempat pengadilan agama, sehingga tempat ini dikenal juga dengan nama â€Pengadilan Surambiâ€. Oleh karena itu serambi masjid ini diberi nama â€Al Mahkamah Al Kabirohâ€.
Bentuk arsitektur serambi adalah Limasan Lawakan Klabang Nyander Lambang Gantung. Disebut Limasan Lawakan Klabang Nyander karena panjang
atap teratas (untuk atap Limasan dinamakan â€gajahâ€, sedangkan untuk atap Joglo dinamakan â€brunjungâ€) memiliki delapan saka (tiang) penyangga. Sedang kan sebutan lambang gantung karena atap teratas (â€gajahâ€) dengan atap berbahan zingcallum tebal 8 mm yang berada di bawahnya (â€penanggapâ€) tidak menyatu, melainkan renggang dengan pangkal usuk pananggap masuk ke dalam blandar lumajang, sedang posisi blandar lumajang ini menggantung pada delapan saka bentung. Empat saka bentung menggantung pada empat jurai ( dudur) gajah, dan empat saka bentung lainnya menggantung pada usuk yang segaris dengan deretan saka (tiang) di tengah. Serambi berukuran 18,1 m x 28,2 m dengan lantai berupa tegel motif kembang berukuran 20 cm x 20 cm. Ketinggian lantai serambi lebih rendah 60 cm dari ruang salat utama dan lebih tinggi 90 cm dari lantai emper. Bagian tengah terdapat 8 saka guru berukuran 33 cm x 33 cm dan 16 saka penanggap di sekeliling ruang berukuran 24 cm x 24 cm. Terdapat 16 saka emper dilengkapi 16 saka santen yang berbentuk penampang bulat.
c. Pawestren; sebagai ruangan khusus untuk salat beijamaah kaum perempuan, berada di sebelah selatan ruang salat utama berukuran 27,7 m x 5 m, permukaan lantai lebih rendah 82 cm dari ruang salat utama. Pintu masuk ruang salat utama terbuat dari kayu dengan model kupu tarung. Pada masing- masing daun pintu terdapat penebalan permukaan berupa garis, yang membentuk motif geometris. Kusen pintu terbuat dari kayu yang bagian atas nya bertumpang tiga. Pada masing-masing susunan kusen atas pintu terdapat inskripsi menggunakan huruf Jawa yang menjelaskan bahwa ruangan tersebut digunakan untuk jemaah perempuan menunaikan ibadah salat
Di bagian dalam pawestren terdapat pembatas yang sejajar dengan pintu. Pembatas ini membagi arah masuk ke sisi kanan dan kiri menuju lantai tempat salat yang posisinya lebih tinggi. Lantai ruang pawestren berbahan manner. Dinding sisi utara yang juga merupakan dinding ruang salat utama dan dinding sisi selatan ruang pawestren berbahan batu putih. Pada dinding terdapat jendela dengan terali berbahan kayu dan memiliki daun jendela ganda. Daun jendela berhias motif geometris yang diberi wama coklat tua. Pada dinding sisi barat terdapat jendela memanjang dengan jeruji kayu.
Bagian atas ruangan pawestren tidak menggunakan plafon. Atap tersebut merupakan satu kesatuan dengan atap panitih ruangan salat utama. Konstruksi penutup atap miring ke arah selatan, memperlihatkan bagian usuk atap yang bertumpu pada blandar dinding sisi selatan.
d. Pabongan; adalah ruangan dengan bentuk yang serupa dengan pawestren, namun terletak di sebelah utara ruangan utama salat. Pintu masuk
ruang pabongan berjenis kupu tarung, berbahan kayu dengan motif geometris. Kusen pintu berbahan kayu dengan bentuk bertumpang pada kusen bagian
atas. Pada masing-masing kusen atas pintu terdapat inskripsi berhuruf Jawa yang menjelaskan tentang kegunaan ruang pabongan sebagai akses khusus bagi abdi dalem untuk menjalankan ibadah salat. Pada inskripsi tersebut juga muncul sengkalan dengan memakai angka tahun 1822 J.
Ruang pabongan terbagi menjadi dua area. Area pertama adalah area depan yang memiliki akses ke ruang salat utama melalui tangga berbahan manner
Terdapat pipi tangga di kedua sisinya yang berbahan kayu, dengan motif diagonal. Akses masuk ke ruang salat utama melalui tangga dibatasi oleh pintu berbentuk kupu tarung, dengan motif geometris serta kombinasi panel kayu dan kaca di masing - masing daun pintu.
Ukuran pabongan 27,7 m x 5 m. Lantai area pertama ruang pabongan berupa tegel berukuran 30 cm x 30 cm dan lebih rendah 170 cm dari lantai ruangan salat utama. Area kedua terletak di sebelah barat area pertama. Area kedua lebih tinggi 30 cm dari lantai area pertama, dibatasi oleh dinding dengan pintu masuk berbentuk kupu tarung dan bermotif geometris di permukaan daun pintunya. Lantai area kedua saat ini ditutupi karpet. Terdapat dua dinding sekat berlapis plester semen di tengah area ruang kedua yang membagi ruang menjadi 3 bilik. Dinding sisi utara berplester.
Pada dinding tersebut terdapat 3 jendela dengan daun jendela ganda, bermotif geometris. Konstruksi atap ruangan pabongan miring ke utara karena merupakan bagian dari atap panitih bangunan utama. Usuk atap bertumpu pada dinding sisi utara. Ruangan ini digunakan untuk istirahat para ulama, khatib, dan marbut serta digunakan untuk musyawarah membicarakan persoalan agama.
e. Ruangan salat utama (liwan) berukuran 27,7 m x 27,95 m, terdapat 48 (empat puluh delapan) pilar berbentuk bulat terbuat dari kayu jati utuh yang terdiri atas 4 saka guru berdiameter 60 cm dan tinggi 16 m, 12 saka penanggap berdiameter 45 cm, serta 20 saka pamfihberdiameter 33 cm yang dilandasi umpak batu. Baik saka maupun umpak tidak memiliki omamen. Pada salah satu penutup umpak saka guru sisi tenggara terdapat inskripsi angka tahun Jawa 1860 dan sisi timur laut angka tahun Masehi 1939 berupa tahun peresmian penggantian lantai masjid.
Garis shaf sebagai arah salat pada mulanya lurus ke arah barat sejajar dengan orientasi bangunan, namun diubah ke arah kiblat yang lebih tepat sebesar 24,7 derajat ke utara atas prakarsa K.H. Ahmad Dahlan yang saat itu menjadi salah satu khatib di Masjid Gedhe Kraton. Lantai ruang salat utama terbuat dari bahan manner. Dinding di semua sisi ruang salat utama terbuat dari bahan batu putih. Terdapat tiga pintu masuk berbahan kayu menuju ruang salat utama dengan ukuran yang berbeda. Pintu tengah merupakan pintu utama berbentuk kupu tarung yang ukurannya paling besar (2,8 m x 2,4 m) , dua pintu lainnya di sisi utara dan selatan pintu utama berbentuk kupu tarung namun berukuran lebih kecil (2,8 m x 1,6 m). Tiga pintu utama yang menghadap ke arah serambi memiliki ukiran pada masing - masing permukaannya. Ukiran berupa motif wajikan. Sisi utara terdapat pintu menuju ruang pabongan. Pintu berbentuk kupu tarung, berbahan kayu dengan motif geometris serta susunan kombinasi panel kayu dan kaca berukuran (2 m x 1,6 m). Di sisi selatan terdapat satu pintu, dengan daun pintu tunggal yang memiliki motif geometris serta susunan kombinasi panel kayu dan kaca. Jendela pada ruang
salat utama memiliki daun jendela ganda dengan terali kayu berukuran 1.6 m x 1,6 m. Jendela pada ruang salat utama beijumlah 13 buah. 3 buah di sisi utara, 2 buah di sisi timur, 4 buah di sisi selatan dan 4 buah di sisi barat. Di bagian ruang salat utama ini terdapat mihrab, maksura, dan mimbar yang berada di sisi barat.
Bentuk mihrab berupa tempat untuk imam saat salat beijamaah, berukuran 2 m x 3,3 m, pada lengkung mihrab dihiasi dengan kaligrafi dari Surat Ali Imran ayat 39 yang menyebutkan kata “mihrabâ€. Inskripsi pada bidang ini berupa kaligrafi yang terdiri atas susunan empat baris. Pada puncak lengkung diukirkan nama Allah berhuruf Arab. Di bawah inskripsi dituliskan nama-nama nabi dan tokoh-tokoh Islam. Pencantuman nama-nama tersebut (diurutkan dari utara): Hamzah (sahabat nabi), Zakariya, Yahya (nama-nama nabi), Fatimah (putri nabi), Hasan, Husein (cucu nabi), dan Abas (sahabat nabi).
Di samping kanan dan kiri mihrab terdapat hiasan berupa kaligrafi yang dipahat di dinding pada bidang lengkungan seperti mihrab semu. Pada sebelah kanan (utara) mihrab berisi kutipan Hadis yang dipahatkan pada bentuk lengkung yang di bagian bawahnya terdapat omamen pepohonan. Kemudian pada bagian paling atas dituliskan kata “Muhammad†berhuruf Arab yang dipahatkan ke kiri dan ke kanan (kebalikan/cermin) sehingga seperti satu rangkaian kalimat. Sedangkan pada sebelah kiri (selatan) mihrab berisi tulisan kutipan hadis mengenai keutamaan salat Jumat.
Lokasi Bangunan | : |
Jl. Kauman
Kampung Kauman
Kel. Ngupasan
Kec. Gondomanan
Kab. Kota Yogyakarta
Prov. Daerah Istimewa Yogyakarta
Koordinat -7.80403 ; 110.36294 |
No. Registrasi Nasional | : | RNCB.20111017.02.000201 |
SK Gubernur | : | Keputusan Gubernur DIY Nomor 1 2020-06-15 |
Koordinat Penemuan | : | ; |
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Jenis Struktur | : | Tradisional |
Jenis Bangunan | : | Tradisional |
Fungsi Bangunan | : | Religi/Keagamaan |
Komponen Pelengkap | : |
|
Tata Letak Dalam Ruang Kawasan | : | Fasad bangunan menghadap timur (alun-alun utara). Sebelah barat berbatasan dengan Kampung Kauman. Di bagian kanan dan kiri masjid terdapat dua bangunan tempat penyimpanan gamelan yang ditabuh saat perayaan sekaten. |
Deskripsi Atap | : | beratap tajug tumpang tiga dengan penutup atap sirap yang saat ini berganti menjadi seng zingcallum gelombang 0,8 mm. Memiliki atap teratas berbentuk limas piramidal ( tajug) dengan mustaka ( makhutha) di atasnya yang menggam barkan gada, daun kluwih dan kembang gambir. Atap bangunan utama memiliki konstruksi Tajug Lambang Teplok. Atap tajug ini secara umum menjadi tipikal bentuk masjid di Jawa yang menandakan bahwa denah bangunan utama masjid (ruang salat utama) berbentuk bujur sangkar. Atap serambi berupa Limasan Klabang Nyander Lambang Gantung |
Fungsi Situs | : | Religi/Keagamaan |
Fungsi | : | Religi/Keagamaan |
Peristiwa Sejarah | : | Masjid Gedhe dibangun 18 tahun setelah pendirian Kraton Yogyakarta yaitu pada tanggal 27 Juni 1773. Informasi ini terdapat pada dua inskripsi masing-masing berhuruf dan berbahasa Jawa serta berhuruf dan berbahasa Arab. Pada inskripsi berhuruf dan berbahasa Arab Menyebutkan bahwa bangunan masjid didirikan pada hari Ahad tanggal 6 Rabiulakhir 1188 H.Dua tahun kemudian pada 1775 dibangun serambi di muka bangunan masjid, keterangan ini terdapat di serambi pada dua inskripsi berhuruf dan berbahasa Jawa yang terpasang pada dinding luar (timur) ruang salat utama di sebelah kiri (sisi selatan) pintu paling selatan dan di sebelah kanan (sisi utara) pintu paling utara. Kedua inskripsi ini isinya serupa hanya berbeda pada pencantuman sengkalannya.Pada tahun 1839 dilakukan penambahan bagian pawestren dan pembangunan pintu gerbang masjid yang dikenal sebagai “gapuraâ€, dilanjutkan dengan pembangunan regol. Peristiwa ini didokumentasikan pada inskripsi untuk masing-masing pendirian pawestren, gapura, dan regol. Inskripsi tentang pawestren berhuruf dan berbahasa Jawa, terdiri atas empat baris yang dipahatkan pada kayu kusen bagian atas pintu sebelah selatan emper serambi. Inskripsi yang mencantumkan angka tahun Jawa 1767 ini menyebutkan bahwa pawestren merupakan tempat salat bagi wanita dan tidak boleh dibuka kecuali pada hari Jumat.Sembilan puluh tahun setelah bangunan masjid didirikan, pada tahun 1863 dilakukan penggantian atap sirap untuk yang pertama kalinya. Peristiwa ini didokumentasikan pada dua inskripsi masing-masing berhuruf dan berbahasa Arab serta berhuruf dan berbahasa Jawa.a. Inskripsi berhuruf dan berbahasa Arab; berada di dinding timur ruang salat utama sisi luar; terletak sebelah utara (kanan) pintu paling selatan. Inskripsi terdiri atas lima baris yang menyebutkan bahwa telah dilakukan perbaikan terhadap masjid pada hari Ahad tanggal 14 Rajab 1279 H yang selesai pada bulan Rabi’ulawal 1280 H. Cara penulisan angka tahun inskripsi ini dicantumkan dengan cara penulisan angka arab yang dirangkai.b. Inskripsi berhuruf dan bahasa Jawa; berada di dinding timur ruang salat utama sisi luar; terletak sebelah selatan (kiri) pintu paling utara. Inskripsi terdiri atas lima baris yang menyebutkan bahwa perbaikan sirap dilakukan pada hari Ahad tanggal 14 Rajab 1791 J yang selesai pada bulan Rabi’ulawal 1792 JPada tahun 1867 (1796 J/1284 H) teijadi gempabumi di Yogyakarta yang salah satu akibatnya adalah keruntuhan bangunan serambi masjid. Satu tahun kemudian dibangun kembali bagian serambi yang keadaannya lebih baik dan luasnya dua kali lebih besar dari bentuk sebelumnya. Material bangunan serambi ini merupakan hibah dari Sultan Hamengku Buwana VI yang pada mulanya akan dipakai untuk bangunan Bangsal Pagelaran di kompleks keraton.Pembangunan kembali bagian serambi ini tercatat dalam dua inskripsi masing-masing berbahasa serta berhuruf Arab dan berbahasa serta berhuruf Jawa. Kedua inskripsi dipahatkan pada tembok yang telah diplester.a. Inskripsi berhuruf dan bahasa Jawa; terletak pada tembok di atas pintu pawestren pada emper serambi sebelah selatan. Terdiri atas sepuluh baris yang menyebutkan bahwa serambi Masjid pemah hancur akibat gempabumi pada hari Senin Wage jam lima malam tanggal 7 Sapar 1796 J atau 1284 H yang kemudian dibangun kembali pada hari Kamis Kliwon jam sembilan bulan Jumadilakhir 1797 J atau 1285 H;b. Inskripsi berhuruf dan bahasa Arab; terletak pada tembok di atas pintu pabongan pada emper serambi sebelah utara. Terdiri atas delapan baris, penulisan khat huruf Arab telah sesuai kaidah. Menyebutkan bahwa serambi Masjid pemah hancur akibat gempa bumi pada hari Senin tanggal 7 Safar 1284 H yang kemudian dibangun kembali pada hari kamis tanggal 20 Jumadilakhir 1285 H;Pada tahun 1892 terdapat inskripsi mengenai pabongan suatu ruangan tambahan di sebelah utara ruangan utama salat yang terdokumentasi pada inskripsi berhuruf dan berbahasa Jawa. Inskripsi ini terdiri atas tiga baris dipahatkan pada kayu kusen bagian atas pintu sebelah utara serambi bawah serta men cantumkan kata “pabonganâ€.Inskripsi ini menyebutkan bahwa abdi dalem yang menjalankan salat setiap hari melalui jalan khusus di pabongan ini. Selain itu, terdapat sengkalan angka tahun 1822 J.Pada tahun 1933 atas prakarsa Sultan Hamengku Buwono VIII, lantai dasar masjid semula batu andesit hitam diganti dengan batu marmer sedangkan lantai serambi yang semula terbuat dari batu putih diganti dengan tegel bermotif. Selain itu dilakukan pula pergantian penutup atap masjid dari bahan sirap menjadi seng gelombang. Pada tahun 2002 dilakukan rehabilitasi oleh dinas kebudayaan DIY, lantai yang semula berbahan marmer diganti dengan marmer Yunaniserta penggantian seng gelombang menjadi zingcallum. |
Nilai Sejarah | : | Masjid ini merupakan saksi sejarah lahir dan berkembangnya Organisasi Islam Muhammadiyah pada awal abad ke-20. Selain itu masjid ini menjadi tempat di mana perjuangan Tentara Indonesia beserta pejuang asykar dalam menyusun strategi melawan Belanda. Kemudian pada Tahun 60-an, masjid ini menjadi tempat bagi KAMI dan KAPPI yang ketika itu berupaya menumbangkan kekuasaan Soekarno dan PKI. |
Nilai Agama | : | Sebagai simbol penyebaran Agama Islam di Jawa dengan menjadi pusat kegiatan dakwah di kawasan Kraton Yogyakarta sejak abad ke-18. |
Nilai Budaya | : | Merupakan simbol akulturasi budaya Jawa di Kraton Mataram dengan Islam. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Kraton Yogyakarta |
Alamat Pemilik | : | Jl. Kauman, Alun-alun Kraton Yogyakarta |
Nomer Kontak | : | 0274-74373721 |
Nama Pengelola | : | Kawedanan Pengulon |
Alamat Pengelola | : | Jl. Kauman, Alun-alun Kraton Yogyakarta |
Nomer Kontak | : | 0274-373622 |
Catatan Khusus | : | Bangunan masjid terdiri dari beberapa bagian seperti, Kantor Takmi yang berada di sebelah utara masjid, dua pagongan di sebelah kanan dan kiri depan masjid, pawestren (ruang untuk jamaah putri), gapura, pajagan (tempat berjaga prajurit di sebelah kanan dan kiri gapura), dan tempat istirahat marbot, khatib serta ulama (yakihun). Melihat banyaknya jamaah yang berdatangan, maka Tahun 1775 ditambahkan serambi di masjid tersebut. Pada masa kemerdekaan dan era 60-an, masjid ini juga dipergunakan sebagai tempat penyusunan strategi tentara Indonesia dalam melawan penjajah. Bagian gapura masjid berbentuk semar tinandu. Terdapat tiga buah kolam yang berada di bagian pintu masuk masjid. Memiliki desain atap tumpang tiga dengan mustaka masjid membentuk daun kluwih dan gadha. Dinding masjid tersusun dari batu kali putih. Masjid ditopang oleh tiang-tiang berbahan kayu jati yang telah berusia lebih dari 200 tahun. Ada sejumlah 24 tiang berumpak batu yang menopang serambi. Masjid ini didominasi dengan dekorasi prada emas. Masjid terdiri dari satu ruang induk untuk beribadah. Di bagian dalam selain terdapat tempat imam sholat, juga ada maksura di sebelah kiri tempat imam dan mimbar di sebelah kanannya yang juga didekorasi prada emas. Renovasi dilakukan ketika terjadinya gempa 1867, yang merobohkan bagian serambi masjid. Dilakukan penggantian lantai dasar, dari batu kali menjadi marmer. Kemudian saat terjadi gempa tahun 2006, kolam masjid mengalami kerusakan hingga kini tidak lagi difungsikan. |