Bangunan Cagar Budaya Museum Sonobudoyo merupakan bangunan yang dirancang dan didirikan pada tahun 1935 sebagai bangunan publik untuk fungsi museum. Bangunan ini menempati kaveling di sisi utara dari alun-alun utara Kraton Yogyakarta. Bagian utama dari kompleks bangunan ini berwujud menyerupai arsitektur rumah tinggal tradisional Jawa, terdiri dari pendapa, pringgitan, dan dalem yang dirancang oleh arsitek berkebangsaan Belanda: Ir. Thomas Karsten.
Dalam perancangannya, Karsten memadukan fungsional bangunan ini sebagai museum yang sekaligus menjadi ruang pamer dengan seni bangunan tradisional Jawa. Hal ini terlihat dari bangunan museum sebagai sosok rumah Limasan Lambang Teplok namun memiliki sistem penataan ruang untuk kebutuhan ruang pamer koleksi museum.
Bangunan Museum Sonobudoyo yang terdiri atas bagian pendapa, pringgitan, dan dalem secara filosofi Jawa memiliki makna berupa hubungan manusia dengan hal transendental (bagian dalem) juga makna hubungan sosial antar manusia (bagian pendapa). Nilai filosofis tersebut dimodifikasi oleh Karsten untuk memenuhi fungsi tata pamer museum.
Dalam rancangan Karsten, pada bagian dalem yaitu keberadaan ruang senthong kiwa dan senthong tengen dimodifikasi menjadi ruang pamer koleksi museum yang memiliki jalur pameran. Sedangkan keberadaan senthong tengah atau petanen tetap dipertahankan sebagai gambaran kehadiran Dewi Sri melalui simbol keberadaan tempat tidur untuk mengisi ruang seperti lazimnya pada rumah tradisional Jawa.
Menurut Hoesein Djajadiningrat dalam pidato pembukaan museum, keberadaan ruang petanen (senthong tengah) dengan nilai kesakralannya tersebut tetap dipertahankan untuk menjadi inti atau pusat dari keseluruhan bangunan (Djajadiningrat, 1935 dalam Wijayanto, 2006: 131). Sedangkan bangunan pendapa pada awal perancangannya difungsikan sebagai tempat pertemuan dengan masyarakat sekaligus ruang rapat untuk Java Instituut.
Alasan pemilihan lokasi bangunan museum di sisi utara Alun-Alun Utara Kraton Yogyakarta mempertimbangkan keberadaan Alun-Alun sebagai tempat publik dan pusat budaya (tempat dilaksanakannya beberapa seremonial besar periodik) sehingga publik dapat mengakses museum dengan lebih mudah (Djawa, Vol.15, 1935: 204). Hoesein Djajadiningrat dalam pidato pembukaan menyatakan bahwa posisi keletakan bangunan museum ini menyimbolkan suatu “jembatan” antara dunia barat/modern di sisi utara (yang ditandai dengan keberadaan bangunan-bangunan kolonialnya) dengan dunia timur/ tradisional di sisi selatan (yang disimbolkan dengan keberadaan kompleks keraton) (Wijayanto, 2006: 156-157).
Pendirian bangunan museum di lokasi ini memodifikasi suatu bangunan yang sebelumnya telah ada yaitu bangunan pos polisi Djawa, Vol.15, 1935: 209). Pada Peta Kota Yogyakarta tahun 1925 tercantum sebagai “Politiposthuis”. Sedangkan pada Peta Yogyakarta tahun 1933 di lokasi yang sama tercantum sebagai “Part. Holl. Inl. school.” (sekolah swasta Belanda untuk pribumi).
Secara keseluruhan, Bangunan Cagar Budaya Museum Sonobudoyo merupakan bangunan dengan langgam arsitektur tradisional Jawa dengan modifikasi struktur bangunan museum dengan beberapa komponen arsitektur Eropa. Bangunan museum ini terdiri atas: (1) Gedung Thomas Karsten, (2) Pendapa Kesenian (yang ditambahkan di masa kemudian pada tahun 1941), dan (3) Bangunan Pelengkap (yang ditambahkan bersamaan dengan pendirian Pendapa Kesenian).
1. Gedung Thomas Karsten
Memiliki arsitektur Joglo Mangkurat. Pembagian tata ruangnya mengikuti penataan rumah tradisional Jawa yang terdiri atas (a) regol, (b) pendapa, (c) pringgitan, dan (d) dalem. Bangunan ini berfungsi sebagai ruang pamer tetap koleksi museum. Gedung Thomas Karsten ini adalah bagian dari museum yang didirikan mula-mula oleh perancang Ir. Thomas Karsten seperti yang terdokumentasi pada gambar denah yang diterbitkan dalam majalah Djawa Tijdschrift Van Het Java-Instituut, Vol.15, 1935. Gedung Thomas Karsten museum ini terdiri atas:
a. Regol
Regol berukuran lebar 3,25 m memiliki atap limasan yang menggunakan penutup atap genting serta penutup jurai (yang saat ini menggunakan bahan galvalum). Sisi kanan dan kiri regol dilengkapi taman dengan pembatas berbahan batu andesit. Pada sisi selatan (fasad) regol ditambahkan pintu terali besi untuk keamanan. Regol dan dinding pembatas dicat berwarna putih. Pada permukaan dinding sisi barat terdapat prasasti peresmian bangunan dan di dinding timur terdapat figur kronogram berupa candrasengkala bermakna angka tahun pendirian museum.
b. Pendapa
Ukuran ruang pendapa 16,25 m x 12,40 m. Atap pendapa menggunakan genting serta penutup jurai. Bagian pendapa difungsikan sebagai ruang penerimaan pengunjung museum. Dalam bagian ini terdapat koleksi gamelan.
Pada unit bangunan ini dinamai sebagai “pendapa alit”. Penamaan ini ditambahkan pada masa kemudian setelah pembangunan perluasan museum di tahun 1940 yang berupa penambahan pendapa baru dengan ukuran yang lebih luas.
c. Pringgitan
Area pringgitan berukuran 16,25 m x 2,10 m. Saat ini difungsikan sebagai area yang menyatu dengan bagian pendapa di sisi utara. Bagian ini menjadi ruang transisi dari bagian pendapa ke bagian dalem sekaligus pintu akses utama menuju ruang museum. Pada pengembangan bangunan selanjutnya di tahun 1939-1941 bagian pringgitan ini tidak lagi tampak pada denah kompleks bangunan 1941.
d. Dalem
Bangunan dalem menggunakan penutup atap berbahan genting. Area dalem menampilkan ruang khusus berupa petanen (senthong tengah) tipikal rumah tradisional Jawa. Semua perabot dalam ruang senthong tengah ini merupakan properti keraton yang dihibahkan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII. Selain itu, area dalem terbagi menjadi 7 ruang pamer museum. Pada pengembangan berikutnya di tahun 1941 area ini bertambah luas menjadi 11 (sebelas) ruangan dengan urutan akses ruang mengikuti jalur kunjung tata pamer koleksi museum.
e. Bangunan sayap barat/Ruang sekretariat
Berupa bangunan tingkat dua lantai, berada di halaman sisi barat pendapa. Unit bangunan ini menyatu dengan Gedung Thomas Karsten. Menggunakan bentuk atap limasan melintang utara-selatan. Pada awalnya bagian ini digunakan untuk operasional staf Java-Instituut.
f. Bale Gede
Unit bangunan ini terpisah dari Gedung Thomas Karsten, yang merupakan bagian dari penataan keseluruhan bangunan dalam rancangan pengembangan museum di tahun 1941. Bangunan Bale Gede terletak di kaveling sudut barat laut dari Gedung Thomas Karsten. Bentuk bangunan berupa bangsal bergaya arsitektur tradisional khas Bali. Bale Gede menghadap ke timur, terdiri dari bangunan terbuka yang memiliki atap tajuk berbahan duk, ditopang pilar (saka/adegan) serta memiliki dua ranjang masing-masing di sisi utara dan selatan. Akses masuk di sisi timur berupa candi bentar berbahan bata yang menyatu dengan tembok keliling. Pada dinding dan candi bentar terdapat ornamen berbahan batu paras yang menempel pada permukaan bata.
g. Pagar
Struktur pagar sisi selatan sepanjang 105 m dari tepi timur depan Pendapa Kesenian hingga tepi barat depan Bangunan Pelengkap merupakan bagian dari struktur tepi alun-alun utara. Pagar ini merupakan segmen sebelah timur Gapura Pangurakan Kraton Yogyakarta hingga pojok barat laut lahan alun-alun utara, sebagaimana tergambar dalam ilustrasi majalah Djawa No. 20 (1940: 178-179). Pada struktur pagar ini terdapat tiga bukaan gerbang untuk akses menuju Museum Sonobudoyo yang terletak di tengah menuju pedapa di Gedung Thomas Karsten, di timur menuju Pendopo Kesenian, dan di barat menuju akses pagar barat Gedung Thomas Karsten dengan Bangunan Pelengkap.
2. Pendapa Kesenian
Bangunan pendapa ini merupakan bagian tambahan hasil pengembangan museum Sonobudoyo pada tahun 1939-1941. Bangunan pendapa didirikan bersamaan dengan perluasan gedung museum (Gedung Thomas Karsten) sisi timur yang diperluas menjadi lima ruangan baru.
Pendapa baru ini berukuran 20 m x 21 m menampilkan gaya arsitektur joglo sinom lambang teplok yang dilengkapi bagian kuncungan di bagian depannya (sisi selatan). Bentuk bangunan disebut kategori joglo sinom karena memiliki atap bersusun tiga terdiri atas atap brunjung, atap penanggap, dan atap emper. Di antara brunjung dan penanggap terdapat ruang yang berfungsi sebagai ventilasi dan pencahayaan atas. Kemudian terdapat konstruksi usuk penanggap bagian atas bertumpu pada balok yang menempel pada sunduk pamanjang dan sunduk panyelak. Bentuk konstruksi tersebut dikenal sebagai lambang teplok.
Bagian kuncungan di sisi depan pendapa berbentuk limasan jebengan dengan cukit tiga sisi. Di sebelah utara pendapa terdapat pringgitan berbentuk persegi panjang. Antara pendapa dan pringgitan terdapat gebyok/patangaring berukir Atap bagian pringgitan (di sisi utara) berbentuk limasan klabang nyander dan dibuat lebih tinggi dari emper pendapa di depannya.
3. Bangunan Pelengkap
Unit bangunan ini berada di sisi barat luar pagar Gedung Thomas Karsten Museum. Ditambahkan bersamaan dengan perluasan kompleks museum pada tahun 1941 yang mendirikan pula unit Pendapa Kesenian. Unit ini berbentuk persegi panjang berorientasi utara-selatan menghadap ke arah timur.
Pada gambar denah museum Sonobudoyo tahun 1941, diketahui bangunan ini terdiri atas tiga unit bangunan. Bangunan pertama yang lebih besar terdapat 3 ruang untuk perpustakaan (ruang rak buku, dan administrasi), ruang baca, serta satu bangunan lebih kecil yang terpisah di sisi selatan sebagai rumah penginapan (tercantum sebagai “Lodger Gebouw”).
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Komponen Pelengkap | : |
|
Peristiwa Sejarah | : | Bangunan Museum Sonobudoyo didirikan pada tahun 1934 oleh Java-Instituut yang merupakan yayasan dengan fokus bidang kebudayaan Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Pembangunan museum merupakan hasil Kongres Kebudayaan tahun 1924 di Yogyakarta yang merupakan agenda berkala Java-Instituut. Pada tahun 1929 (bertepatan peringatan 10 tahun Java-Instituut) berlangsung Kongres kebudayaan di Surakarta yang salah satu hasilnya adalah pengajuan permohonan kepada Directeur van Justice guna memperoleh dana bagi pendirian museum yang didukung oleh empat institusi kerajaan di vorstenlanden (Djawa, Vol. 15, 1935: 204). Permohonan ini disetujui serta biaya akan diperoleh melalui saham patungan serta ditetapkan pula suatu komisi museum sementara yaitu: Ir. Th. Karsten, P.H.W. Sitsen, dan S. Koperberg. Komisi Museum ini kemudian berisi Ir. J.L. Moens, P.A. Hadinegara, dan S. Koperberg yang memperoleh gedung sementara berupa rumah pengurus Burgerlijk Openbare Werken (B.O.W.) di Gowongan. Pada tahun 1931, dibentuk Panitia Perencana Pendirian Museum sekaligus menjadi arsitek yang terdiri atas: Ir. Th. Karsten, P.H.W. Sitsen, dan S. Koeperberg. Lokasi pembangunan museum menggunakan lahan bekas “schouten” (sekolah), hibah dari Sultan Hamengkubuwono VIII yang diberikan kepada Java-Instituut. Proses pembangunan museum dimulai pada tahun 1934 yang ditandai dengan prasasti terletak di dinding barat regol utama berupa kronogram (candrasengkala) “Buta ngrasa estining lata” yang bermakna angka tahun Jawa: 1865 atau sama dengan tahun 1934 Masehi. Peresmian museum dilakukan setahun kemudian oleh Sultan Hamengkubuwono VIII yang ditandai prasasti terletak di dinding timur regol dengan candrasengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha” yang bermakna angka tahun Jawa: 1866 yaitu bertepatan pada Rabu Wage tanggal 9 Ruwah tahun 1866 Jawa atau 6 November 1935 Masehi. Pada tahun 1939, Museum Sonobudoyo memperluas lahan dan mendirikan bangunan pendapa yang lebih besar di sisi timur Gedung Thomas Karsten, bangunan perpustakaan di sisi barat luar pagar bangunan museum, dan bangunan Bale Gede berarsitektur Bali beserta gapura bentar di halaman barat laut museum. Pada 1 Maret 1941, tambahan bangunan Pendapa Kesenian selesai diresmikan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sejak awal pendirian hingga saat ini bangunan pendapa tersebut digunakan sebagai tempat pertunjukan kesenian seperti Wayang Wong dan Wayang Kulit. Selain pendapa dibangun pula gedung perpustakaan tambahan di sebelah barat bangunan museum. Pengembangan museum di tahun 1941 ini lebih menekankan pada pembangunan sekolah seni dan kerajinan (kelak menjadi cikal bakal Institut Seni Indonesia/ ISI-Yogyakarta). Pengembangan bangunan museum Sonobudoyo ipada tahun 1941 ini di bawah arsitek Ir. B. de Vistarini, R. Sindoetama, dan Schram (Djawa vol. XX, 1940: 176). Pada masa pendudukan Jepang, Museum Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Paniradyapati Wiyata Praja (Kantor Sosial bagian pengajaran). Sedangkan pada masa Kemerdekaan Museum Sonobudoyo dikelola oleh Bupati Utorodyopati Budaya Prawito yaitu jajaran pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Selanjutnya pada akhir tahun 1974 Museum Sonobudoyo diserahkan ke Pemerintah Pusat/Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dan secara langsung bertanggung jawab kepada Direktorat Jenderal. Museum Sonobudoyo mulai bergabung pada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi DIY pada Januari 2001 dan diusulkan menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah pada tahun 2002. Keberadaan bangunan museum Sonobudoyo ini merupakan salah satu bentuk eksistensi keberadaan lembaga Java-Instituut. Lembaga ini didirikan di Hindia-Belanda di Surakarta pada tahun 1919 oleh para tokoh ilmuwan berkebangsaan Belanda dengan tujuan melakukan kajian-kajian ilmiah terhadap kebudayaan Sunda, Jawa, Madura, dan Bali. Pada pelaksanaannya muncul partisipasi pribumi dalam studi-studi Jawa dalam lembaga ini. Java-Instituut sebagai lembaga penelitian Jawa ini dibentuk berdasarkan rekomendasi Kongres Kebudayaan I (1918) yang digagas oleh Pangeran Prangwadono (Mangkunegoro VII). Pengurus Java-Instituut terdiri atas cendekiawan bumiputra, antara lain Pangeran Prangwadono, Husein Djajadiningrat, Purbatjaraka, Rajiman Wedyodiningrat, P.H. Hadinegoro, dan R. Sastrowijono, di samping cendekiawan orang Belanda seperti F.D.K Bosch, Th. Karsten, dan S. Koperberg. Enam belas tahun setelah berdiri, Java-Instituut berhasil mengumpulkan benda budaya dari Sunda, Jawa, Madura, Bali, Palembang, dan lain-lain. Kemudian timbul gagasan untuk mendirikan museum. Kemudian museum ini berdiri dan diresmikan pada 6 November 1935 dengan nama Museum Sana-Boedaja yang diresmikan oleh Sultan Hamengkubuwono VIII, yang sekaligus berperan sebagai pelindung museum. Saat itu koleksi Museum Sonobudoyo merupakan terlengkap kedua setelah Museum Nasional. Museum ini dilengkapi pula dengan perpustakaan yang memiliki koleksi buku. Selain itu lembaga Java-Instituut ini menerbitkan majalah Pandji Poestaka yang berbahasa Jawa dan Majalah Djawa berbahasa Belanda dari tahun terbit 1922 sampai dengan 1941 saat berakhirnya pemerintahan Hindia-Belanda. |
Riwayat Pemugaran | : | 2000 : Pemugaran pada bagian pendopo alit (Gedung Thomas Karsten). Kegiatan meliputi perbaikan pada bagian yang rusak dan penambahan panil kaca di sekeliling pendopo. 2014 : Rehabilitasi pada Bangunan Cagar Budaya eks KONI untuk dimanfaatkan sebagai bagian fasilitas Museum Sonobudoyo yang difungsikan sebagai ruang pamer temporer. 2019a : Pembongkaran gedung-gedung tambahan museum (perpustakaan) di halaman utara dan pembongkaran pada bagian Gedung Thomas Karsten yang saat itu dipergunakan sebagai ruang pamer koleksi logam. 2019b : Pembongkaran bekas bangunan-bangunan sekolah kerajinan (Kunst Ambachtschool v/h Java-Instituut). untuk kemudian didirikan unit bangunan baru untuk ruang pamer koleksi Museum Sonobudoyo pada tahun 2020. 2020 : Pembongkaran doorlop antara gedung pamer dan Pendopo Kesenian untuk kemudian dibangun bangunan galeri batik. |
Nilai Budaya | : | Museum Sonobudoyo merupakan karya Karsten sekaligus menjadi salah satu bukti fisik yang representatif dari keberadaan Java-Instituut dalam bentuk museum. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta |
Nama Pengelola | : | Museum Negeri Sonobudoyo |
Catatan Khusus | : | Koordinat SK : 49 M 429873.06 m E; 9137507.24 m SPanjang Gedung Thomas Karsten : 56,52 m Lebar Gedung Thomas Karsten : 26,6 m Panjang Pendapa Kesenian : 20 m Lebar Pendapa Kesenian : 20 m Panjang Bangunan Pelengkap : 28,52 mLebar Bangunan Pelengkap : 19,31 m Ketinggian : 103 m dpl. Luas Keseluruhan : 2.689 m2 |