| Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
| Peristiwa Sejarah | : | Situs Cagar Budaya Taman Wijaya Brata dibangun atas prakarsa dari Ki Soedarminto, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa dalam sidang Rapat Besar Umum (Kongres) Tamansiswa tahun 1952. Ketika itu Ki Soedarminto mengatakan bahwa terdapat “rerasan” (gagasan yang disampaikan secara tidak langsung) oleh Ki Hajar Dewantara, beliau menginginkan suatu tempat peristirahatan. Pada tahun 1953, dimulailah usaha untuk mencari tanah untuk makam, yang lokasinya diusahakan dekat dengan kompleks Tamansiswa di Wirogunan. Akhirnya tanah untuk makam tersebut ditemukan, yaitu beberapa persil milik penduduk yang dibeli oleh Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa tahun 1954. Pembangunan tahap I dimulai pada tahun 1959 dengan rencana berupa candi dan nisan, pengrantunan, dan pagar keliling makam yang terbuat dari tembok sebagai pengganti pagar kawat berduri. Ki Hadjar Dewantara wafat pada tanggal 26 April 1959 diusia 70 tahun dan dimakamkan di tempat ini. Pada tanggal 30 Januari 1962, bertepatan dengan peringatan 1000 hari wafatnya Ki Hadjar Dewantara dilakukan upacara peletakan batu nisan di makam. Beberapa minggu sebelumnya dilakukan persiapan-persiapan dengan membuat pondasi yang kuat mengingat beratnya nisan yang akan diletakkan di atasnya. Berangsur-angsur lingkungan dari makam disempurnakan. Pada tahun 1963 diresmikan pembangunan makam keluarga tamansiswa yang diberi nama Taman Wijaya Brata. Peresmian taman ini ditandai dengan candra sengkala “Rinaras Trus Basuki ning Wiji” yang berarti 1895 Jawa. Pada tanggal 16 April 1971 Nyi Hadjar Dewantara wafat. Taman ini dibangun untuk mengenang jasa Ki Hajar Dewantara dan Keluarga Perguruan Tamansiswa. Beliau adalah pendiri Tamansiswa dan Bapak Pendidikan Nasional, hingga sekarang setiap tanggal 2 Mei ditetapkan atau diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Selain relief perjuangan Ki Hadjar Dewantara pada masa lampau dibuat juga pakeliran dinding batur yang terdapat di sebelah utara batur atau melatarbelakangi makam Ki Hadjar Dewantara dan Nyi Hadjar Dewantara. Pakeliran disebut Wukir Pancadharma yang merupakan perwujudan dari ide Ki Sindhusisworo dan sebagai desainernya ialah Ki Suratman, Ketua Umum Majelis Luhur Tamansiswa. Relief pada pakeliran menggambarkan pandangan hidup Tamansiswa dengan sistem Pendidikan Nasional, sebagai berikut: Lahirnya Tamansiswa adalah 3 Juli 1922, atau disingkat 3722. Angka tersebut dilambangkan dengan relief gunung yang berbobot 7 dan tiga gunung melambangkan 3, jadi tiga gunung dan bobot gunung menjadi 37. Sayap wataknya 2, dua sayap melambangkan 2, menjadi secara keseluruhan 3722. Dasar ciri khas Tamansiswa Pancadharma yang masing-masing digambarkan dengan lambang, yaitu Kodrat alam dengan lambang matahari, kemerdekaan dengan lambang sayap Garuda, kebudayaan dengan lambang pohon teratai, kebangsaan dengan lambang pohon besar dan kemanusiaan dengan lambang tirta (air). Sistem pendidikan Tamansiswa adalah sistem among yang berjiwa kekeluargaan (pendapa) dan berlandaskan kodrat alam (matahari) dan kemerdekaan (sayap Garuda). Pada saat Yogyakarta mengalami gempa tahun 2006, pagar tembok dan pakeliran ini hancur tak tersisa. Setelah perbaikan pagar pasca gempa bumi, pakeliran dan candra sengkala tersebut tidak dibangun ulang. |
| Riwayat Pemugaran | : | Pada tahun 1974 telah diadakan pelebaran dan pengaspalan jalan menuju makam Taman Wijaya Brata. Tahun 1984 Taman Wijaya Brata dipugar oleh Proyek Pemugaran Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala D.I. Yogyakarta. Kegiatannya meliputi pembangunan pintu gerbang dan pagar makam Ki Hajar Dewantara beserta istrinya. |
| Nilai Sejarah | : | Tempat dimakamkannya Bapak Pendidikan Nasional Ki Hadjar Dewantara |
| Alamat Pengelola | : | Pengurus makam ki Hadjar Dewantara (Jl. Soga, Tahunan, Umbulharjo) |
| Catatan Khusus | : | Koordinat SK : 07°48'24" LS - 110°48'24" BT Struktur Cagar Budaya Makam Ki Hajar Dewantara dan Nyi Hajar Dewantara terawat dengan baik dan bersih. Pakeliran dan candra sengkala di sebelah utara makam Ki dan Nyi Hadjar Dewantara, pascagempa bumi tidak dibangun kembali. |