Loading

Goa Maria Tak Bernoda Sendangsono

Status : Struktur Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Goa Maria Sendangsono secara administratif terletak di Dusun Semagung, banjaroyo, Kalibawang, Kulonprogo. Goa ini merupakan goa buatan yang disusun dari boulder-boulder batu tuff yang membentuk semacam ceruk dan masuk dalam kompleks Ziarah Sendangsono. Terdapat 2 buah goa yang saling berhimpitan. Goa yang lebih tinggi mempunyai ukuran tinggi relung 260 cm, lebar relung 145 cm, kedalaman relung 138 cm, sedangkan Goa yang lebih kecil mempunyai tinggi relung 194 cm, lebar relung 193 cm.

Goa pertama, yang mempunyai ukuran lebih besar adalah Goa tempat bersemayamnya patung Santa Maria Tak Bernoda. Di depan Goa, terdapat undakan sebanyak 4 tingkatan yang terbuat dari susunan bata berplester berbentuk segi 6, dengan ukuran 25 cm pada masing-masing sisi samping dan 20 cm di bagian depan dan belakang. Undakan ini ditopang alas yang terbuat dari batu kali yang disusun dan direkatkan menggunakan campuran semen dan pasir setinggi 40 cm. Undakan ini melebar sampai ke sisi kanan Goa yang digunakan sebagai tempat lilin dan  bunga persembahan bagi Bunda Maria.

Goa ini adalah goa buatan manusia yang disusun menggunakan bahan berupa batu padas dan berjumlah 2 buah goa yang saling berhimpitan. Goa ini mempunyai ukuran 7 meter x 6 meter x 7 meter, Goa yang lebih tinggi mempunyai ukuran tinggi relung 260 cm, lebar relung 145 cm, kedalaman relung 138 cm, sedangkan Goa yang lebih kecil mempunyai tinggi relung 194 cm, lebar relung 193 cm.

Goa pertama, yang mempunyai ukuran lebih besar adalah Goa tempat bersemayamnya patung Santa Maria Tak Bernoda. Di depan Goa, terdapat undakan sebanyak 4 tingkatan yang terbuat dari susunan bata berplester berbentuk segi 6, dengan ukuran 25 cm pada masing-masing sisi samping dan 20 cm di bagian depan dan belakang. Undakan ini ditopang alas yang terbuat dari batu kali yang disusun dan direkatkan menggunakan campuran semen dan pasir setinggi 40 cm (diukur dari dasar saluran air, sedangkan kedalaman saluran air dari permukaan conblok adalah 10 cm). Undakan ini melebar sampai ke sisi kanan Goa yang digunakan sebagai tempat lilin dan bunga persembahan bagi Bunda Maria.

Referensi:

  • Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kulon Progo. 2015. Ensiklopedi Budaya Kulon Progo. Tidak Diterbitkan. Kulon Progo.
  • Hapsoro, Singgih. 2015. Usulan pengelolaan Kawasan Sendangsono Berwawasan Masyarakat. Yogyakarta : Thesis Pasca Sarjana Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Status : Struktur Cagar Budaya
Periodesasi : Kolonial (Belanda/Cina)
Alamat : Semagung, Banjaroya, Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Koordinat:
7.66789° S, 110.22585° E

SK Gubernur : SK Gub No. 210/KEP/2010
SK Walikota/Bupati : SK Kadinas No. 996/KPTS/XII/2014


Lokasi Goa Maria Tak Bernoda Sendangsono di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Bahan Utama : Batu Karang
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Tokoh : Johannes Baptist Prennthaler, S.J. Perjalanan Romo J.B. Prentthaler, S.J
Peristiwa Sejarah : Karya agung yang berbentuk sebuah Goa ini tidak bisa dilepaskan dari sebuah nama besar, seorang biarawan misi Jesuit kelahiran kota Tirol, Austria, yaitu Johannes Baptist Prennthaler, S.J. Perjalanan Romo J.B. Prentthaler, S.J dimulai ketika pada tanggal 25 September 1920 memulai perjalanannya dari Belanda menuju Pulau Jawa. Romo J.B. Prentthaler memulai karyanya di wilayah Mendut, daerah sekitar Kaliawang dan Samigaluh, merupakan daerah yang sangat asing bagi beliau berikut alam, orang-orangnya serta budayanya. Romo J.B Prentthaler S.J berharap dapat mengakrabi semuanya seperti ketika beliau masih di kampung halamannya, sesuai semangat dan mimpi besar misi, yaitu “Ad Maiorem Dei Gloriam” (A.M.D.G), demi semakin besarnya kemualiaan Allah, kadang ditambahkan dengan “et pro salute animarum”, juga demi keselamatan jiwa-jiwa. Pada tahun 1924-1927 adalah masa-masa yang sangat berat bagi wilayah – wilayah yang berada di perbukitan Menoreh. Sejauh mata memandang sungguh tempat yang gersang. Menurut catatan Romo J.B Prentthaler, S.J yang diceritakan kembali oleh Romo Heribertus Budi Purwantoro, P.R dalam bukunya Pedibus Apostolorum menyebutkan “ Tanah pada saat itu hanya terdiri tanah liat tanpa humus, lembah-lembah amat sempit, sedikit sekali sawahnya, hanya ditanami ketela dan jagung yang panenannya sering gagal.Pada Juni 1924 – Agustus 1927 terjadi kelaaran, Untuk sekedar hidup mereka terpaksa berhutang kepada singkek dengan bunga 50% sampai 200% atau dari Bank Desa yang meminjamkan 5 sampai 10 Gulden dengan bunga 55%-60%. Untuk mendapatkan semuanya diserahkan tanah, rumah, ternak, dan pohon sebagi jaminan. Hidup mereka tidak semakin berdaya tetapi justru semakin lumpuh. Itulah sebabnya, banyak rakyat di daerah misi pergi ke Deli dan Jambi. Kemiskinan ini dibarengi dengan situasi kesehatan rakyat jelata di daerah Kalibawang dan Mendut yang juga tidak lebih baik. Awal Februari 1927 di Kelurahan Tanjung 30 orang meningal akibat mengidap desentri. Kondisi tersebut membuat Romo J.B Prenthaler berfikir untuk mengentaskan rakyat jelata dari kondisi kemiskinannya, oleh sebab itu beliau mulai mengembangkan lembaga-lembaga sosial dan karitatif, antara lain poliklinik, perawat dan bidan, panti asuhan untuk anak yatim-piatu, suatu “reifeisenkase” untuk menggantikan bank-bank desa yang tidak layak dipercaya dan mengalihkan ketergantungan masyarakat dari singkek yang mencekik, kerajinan rumah (anyaman dan tenun), koperasi pertanian dan koperasi peternakan.  Hal-hal tersebut di atas baru sebatas rencana-rencana, karena pada saat itu Romo J.B Prennthaler, S.J belum mempunyai modal, baik modal berupa uang maupun modal berupa sumber daya manusia yang akan mengurus semuanya itu. Berkaitan dengan hal tersebut, Romo J.B Prentthaler S.J mulai mencari penderma untuk misi serta bisnis “perangko”. Hal tersebut dilakukan sedikit demi sedikit, istilah beliau sesendok demi sesendok. Sementara itu, kondisi pewartaan mulai menampakkah hasil yang cukup baik, hal ini juga diimbangi dengan pembangunan-pembangunan fisik. Sekolah-sekolah mulai didirikan, satu pada tahun 1926 dan satu pada tahun 1927, delapan tahun kemudian ada tujuh sekolah yang dibangun, selain berbagai hal yang dipkirkan oleh Romo J.B Prennthaler S.J hal pertama yang dilakukan dan dibangun adalah gereja dan pastoran Boro, guna melengkapi bangunan gereja tersebut beliau juga mendatangkan “ lonceng-lonceng Angelus”, untuk 15 wilayah[1]. prioritas berikutnya adalah pembangunan Goa Maria di atas sendang berair jernih di bawah pohon Sono. Pemilihan tempat pendirian Goa Maria ini merupakan upaya untuk menghormati karya Romo van Lith S.J ketika membapis 171 orang Kalibawang pada tanggal 20 Desember 1904 selain itu juga menjadi tonggak sejarah perkembangan umat Katolik di Jawa. Pada awalnya, area yang digunakan sebagai tempat peziarahan Sendangsono ini adalah tanah milik Abraham Dipodongso, yang kemudian diwariskan kepada anaknya yang bernama Yoakim Ronojoyo, dan oleh bapak Yoakim Ronojoyo diwariskan lagi kepada anaknya yang bernama Agustinus Partodikromo. Pada saat itu, tempat ini dipercaya sebagai tempat keramat dengan lingkungan alam berupa semak perdu dengan dua pohon Sono dan dua beringin yang rindang. Karena situasinya yang demikian itulah, masyarakat meyakini bahwa ada mahluk halus yang menghuni tempat tersebut. Kondisi yang demikian inilah, menyebabkan tempat ini sering sekali digunakan sebagai tempat untuk bersemedi bagi orang-orang yang ingin olah kerohanian Jawa. Tempat ini dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Dewi Lantamsari dan anak tunggalnya, Den Baguse Samijo sebagai penguasa daerah itu. Oleh karena keyakinan itu maka tempat ini memiliki seorang juru kunci bernama mbah Kertokromo, sebagai juru kunci terakhir. Pada saat itu masih ada batu besar di bawah pohon Sono dan digeser ke bawah jembatan di pinggir sungai, konon penunggu batu besar ini dipindah saat Den Baguse Samijo dipercaya telah pindah ke Gajah Mungkur di daerah Magelang, ada juga yang mengatakan bahwa Dewi Lantamsari tidak ikut pindah bersama anaknya, tetapi pindah ke tempat Nyi Roro Kidul di laut selatan Jawa. Konon setelah Sendangsono “ditempati” Bunda Maria, Dewi Lantamsari sering menengok bekas tempat tinggalnya itu namun selalu silau oleh Maria dan mengakui keunggulannya. Informasi lain mneyebutkan bahwa Sendangsono ini menjadi tempat para Bhikku beristirahat sambil melepas dahaga dengan meminum air sendang Menurut informasi mbah Marto (82 tahun), konon kabarnya para Bhikku ini sedang dalam perjalanan dari biara di Borobudur menuju Boro. Kata “Boro” menurut para orangtua berasal dari kata “biara/wihara”.Kemungkinan besar ada biara di daerah Boro pada jaman dahulu, hal ini dibuktikan dengan ditemukannya arca atau sisa-sisa peninggalan jaman dahulu. Ada dugaan bahwa para Bhikku ini menempuh jalur menyusuri bukit Menoreh, dari Borobudur melalui daerah Kerug, beristirahat di bawah pohon Sono dekat sendang dan kemudian melanjutkan perjalanan. Pada Saat ini sama sekali tidak ditemukan tinggalan-tinggakan arkeologis yang bersifat Budhistis di sekitar Boro Menurut penuturan bapak Aloysius Agus Suparto pada saat itu ayahnya, Agustinus Partodikromo, ditemui oleh Barnabas Sarikromo dan Antonius Sokariyo agar bapak Agustinus Partodikromo merelakan sebagian tanahnya digunakan untuk mendirikan tempat ziarah. Pada awalnya bapak Agustinus Partodikromo tidak setuju, tetapi setelah direnungkan dan dimintakan pertimbangan keluarga, akhirnya dia merelakan sebagian tanahnya , luasnya kurang lebih 300 meter persegi. Barnabas Srikromo dan Antonius Sokariyo kemudian mengumpulkan umat Katolik, merencanakan mendirikan Goa Maria di tempat itu dan kesepakatan ini direstui oleh Romo van Lith, S.J. Pembangunan Goa Maria ini melibatkan seluruh umat, mereka bergotong royong mencari bahan material, batu kapur diambil dari Dusun Gorolangu, Samigaluh (kurang lebih 10 Km dari Sendangsono), sementara yang lain mencari pasir di sungai Progo (kurang lebih 6 Km dar Sendangsono). Karena kondisi geografis yang sangat sulit, maka pembangunan Goa Maria ini dibangun selama 2 tahun, dari tahun 1927 – 1929. Kondisi awal, Goa ini berukuran 7 meter x 5-6 meter x 7 meter, didirikan sekitar 3,5 meter di belakang dua pohon besar beserta sumber airnya. Dua pohon Sono yang akar-akarnya sebagian 2,8 meter lebih tinggi dari sumber air, dibiarkan begitu saja. Ada "daratan" dan trap-trap untuk turun ke sungai, dan seluruh "tempat suci" itu dipagari . Pada tanggal 17 September 1929 peti berisi patung Santa Perawan Maria tiba di Sentolo, selanjutnya patung tersebut dibawa dengan gerobak ke daerah Pantog. Tiba di sana pada tanggal 18 September 1929 pukul 08,00. Ada 30 pengangkut yang sudah berjam-jam menunggu datangnya gerobak itu Lebih kurang pukul 11.30 patung tersebut sampai di Semagung. Pada pukul 15.30 datang bapak lurah, kepala sekolah, dan mantan asisten untuk menghadiri pembukaan peti dan menjadi saksi kalau-kalau ada kerusakan. Dibutuhkan waktu hampir satu jam untuk menanggalkan kemasannya yang sangat rapi itu. Pada pukul 16.30 patung Santa Perawan Maria dikeluarkan. Kondisinya mulus, tanpa kerusakan, tanpa cacat, ibarat “dikandung tanpa noda”, kendati tanpa upacara resmi, banyak orang datang untuk menyaksikannya. Setelah sampai pada tempat yang telah dipersiapkan, semua orang berlutut dan berdoa. Beberapa kali doa Salam Maria dipanjatkan untuk penderma Kalibawang. Romo Prennthaler menyampaikan sambutan. Semua diajak untuk menghadiri misa kudus keesokan paginya, dengan penerimaan Komuni Kudus, untuk berterima kasih dan bersyukur. Perayaan Ekaristi terjadi pada tanggal 19 September 1929 dan 118 umat menerima Komuni.  Akhirnya pada hari itu Goa Maria “Lourdes” Sendangsono sudah selesai dan patung Santa Perawan Maria sudah bersemayam dalam Goa itu. Pada tanggal 8 Desember 1929 tempat itu diberkati dalam suatu perayaan Ekaristi yang meriah. [1] Lonceng Angelus yang diambil dari wilayah Kecamatan Kalibawang ini sekarang tersimpan di Museum Misi Muntilan.
Riwayat Penemuan : Dibangun oleh Pranteller pada tahun 1904 dan direnovasi pada tahun 1970an oleh Romo Mangun
Nilai Sejarah : Menunjukkan sejarah masuknya misionaris di Kulon Progo
Nilai Ilmu Pengetahuan : Menunjukkan kekayaan arsitektur di Kulon Progo
Nilai Agama : Menunjukkan masuknya Agama Katholik di Kulon Progo
Nilai Budaya : indikasi kebudayaan kolonial yg ada di Kulonprogo
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Paguyuban Gereja Papa Miskin
Pengelolaan
Nama Pengelola : Paroki Promasan
Catatan Khusus : Goa Maria Sendangsono berada di dalam kawasan tempat ziarah Sendangsono