Peristiwa Sejarah |
: |
Tahun 1755 Masehi diadakanlah Perjanjian
Perdamaian, disetujui dan ditandatangani Pangeran
Mangkubumi dan beberapa Pangeran, yaitu Pangeran
Harya Hamangkunagara Mataram, Pangeran Ngabehi
Lering Pasar, Pangeran Natakusuma, Pangaran Harya
Pakuningrat, Adipati Danureja, dan Tumenggung
Rangga Prawiradirja. Di pihak Belanda yang
menyetujui dan menandatangani yaitu Nicolaas
Hartingh Gubernur dan Direktur Segala Usaha di Jawa
(Gouverneur en Directeur van Java’s Noordkust)
mewakili G.G. Jacob Mossel. Selain itu ikut
menandatangani perjanjian ini adalah W. Van
Ossenberch, J.J. Steenmulder, dan W. Fockens.
Perjanjian tersebut terjadi pada tanggal 13 Maret 1755
di Desa Giyanti, pada hari Kamis Kliwon, tanggal 29
Rabiulakhir, Be 1680 tahun Jawa, wuku Langkir atau
tanggal 13 Februari 1755. Peristiwa penting ini lebih
terkenal dengan sebutan Perjanjian Giyanti atau
Palihan Nagari.
Selanjutnya pada hari Kamis Pon, tanggal 13 Maret
1755 atau tangal 29 Jumadilawal, Be 1680 tahun Jawa,
wuku Kuruwelut, Sultan Hamengku Buwono I
mengumumkan bahwa separuh dari Negara Mataram
yang dikuasainya diberi nama Ngayigyakarta
Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta. |
Konteks |
: |
Keragaman arsitektur sebagai salah satu kekayaan
budaya, toponim yang terdapat di sejumlah tempat
merupakan salah satu bukti bahwa Yogyakarta sejak
awal telah dihuni oleh beragam suku bangsa yang
berasal dari wilayah Nusantara atau etnis bangsa lain
seperti Cina, Arab, India, dan Eropa. Keragaman
budaya pendatang tersebut ikut mewarnai
perkembangan dan dinamika Yogyakarta.
Keberadaan Benteng Vredeburg, Istana Gedung
Agung, dan Bangunan Kolonial di seputar kawasan titik
0 (nol) dan Malioboro, serta bangunan Indis di berbagai
kawasan merupakan manifestasi yang
menggambarkan sejarah perkembangan dan dinamika
kehidupan masyarakat.
Keberadaan arsitektur tradisional, arsitektur bercorak
Kolonial dan Indis sebagai karya budaya manusia,
mengandung nilai sejarah yang menggambarkan
pergulatan dua kekuatan sosial dominan pada masa
lampau. Beberapa bangunan tradisional milik
penguasa merupakan simbol salah satu kekuatan
sosial politik, sedangkan gambaran kekuatan asing
selaku penguasa kolonial berpusat di Benteng
Vredeburg dan Kantor Residen Yogyakarta (Gedung
Agung). Kedua kekuatan tersebut menunjukkan
gelombang dinamika dan mewarnai kehiduoan
masyarakat di Yogyakarta pada masa lampau |