Kawasan Cagar Budaya Pakualaman merupakan wilayah geopolitik hasil dari perkembangan politik dalam Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada periode pemerintahan Koloniai lnggris (1811-1815) di Jawa.
Kawasan Cagar Budaya Pakualaman merupakan wilayah yang bermula dari keberadaan pemerintahan Kadipaten Pakualaman. Kadipaten Pakualaman terbentuk karena adanya kontrak politik antara Pangeran Natakusuma (putra Sultan Hamengku Buwana I) dengan Pemerintah Kolonial Inggris pada 17 Maret 1813. Sementara setahun sebelumnya pada 29 Juni 1812 Pangeran Natakusuma dinobatkan oleh pemerintah Kolonial Inggris (Thomas Stamford Raffles) sebagai Pangeran Mardika sekaligus pemimpin Pakualaman dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Paku Alam I.
Tata ruang Kawasan Cagar Budaya Pakualaman menggunakan konsep tradisional Jawa dengan menganut model pura sebagai pusat pemerintahan yang dilengkapi dengan tern pat peribadatan (masjid), tempat perekonomian (pasar), ruang publik (lapangan), dan kelengkapan permukiman bagi abdi dalem yang bertugas di kadipaten Pakualaman sesuai dengan profesinya (bangunan dalem dan nama kampung), serta tern pat pemakaman baik di dekat pura (Makam Sosrobahu) maupun di luar pura (permakaman Giri Gondo di wilayah Adikarto [Kabupaten Kulon Progo]). Konsep tata ruang tersebut cukup khas menghadap ke selatan yang mencerminkan penghormatan terhadap Kasultanan Ngayogyakarta yang berstatus lebih tinggi. Pemanfaatan ruang secara luas diperlihatkan dengan adanya wilayah kekuasaan Kadipaten Pakualaman di Adikarto dengan ditempatkannya pesanggrahan dan pemakaman bagi adipati dan kerabat Pura Pakualaman.
Kawasan Cagar Budaya Pakualaman memiliki pola ruang tradisional Jawa yang dicerminkan dengan gaya arsitektur Tradisional Jawa baik pada bangunan pura, bangunan masjid, maupun beberapa bangunan dalem. Sampai saat ini terdapat toponimi nama-nama kampung yang menunjukkan peristiwa bersejarah, tokoh sejarah, kegiatan aktivitas masyarakat pada masa lalu, dan keragaman sosial serta profesi pada masa lalu.
Pada perkembangan masa berikutnya setelah permukiman bangsa Eropa di Loji Kecil tidak mampu menampung maka Kawasan Cagar Budaya Pakualaman menjadi lokasi perkembangan permukiman penduduk kota golongan Eropa di wilayah Bintaran.
Kawasan Cagar Budaya Pakualaman ini terdapat 2 (dua) Situs Cagar Budaya yaitu:
1. Situs Cagar Budaya Pakualaman Yogyakarta
Situs Cagar Budaya Pakualaman merupakan tempat tinggal bagi K.G.P.A.A. Paku Alam dan keluarganya sekaligus sebagai pusat pemerintahan Kadipaten Pakualaman yang dibatasi dengan bangunan keliling dan memiliki lapangan pada sisi selatan serta masjid pada sisi barat lapangan. Akses masuk ke kompleks ini melalui sisi selatan membelah lapangan. Situs Cagar Budaya Pakualaman memiliki tata ruang yang spesifik mengikuti pola tata ruang Kraton Yogyakarta, namun dengan arah hadap berbeda yaitu ke arah selatan. Tata ruang khas tersebut dapat dilihat dari keberadaan komponen istana, lapangan (alun-alun), dan masjid.
2. Situs Cagar Budaya Bintaran
Situs Cagar Budaya Bintaran merupakan perkembangan permukiman orang Eropa/Belanda yang muncul pada masa Paku Alam V, dahulu Bintaran merupakan tempat bermukimnya orang Eropa/Belanda di kota Yogyakarta. Permukiman tersebut muncul dari pengembangan lokasi permukiman di Loji Kecil (area belakang Benteng Vredeburg) yang sudah semakin padat, sehingga pada awal abad ke-19 permukiman orang-orang Eropa bergeser ke kawasan Bintaran. Situs Cagar Budaya Bintaran memiliki karakter permukiman golongan Eropa yang ditandai dengan bangunan-bangunan hunian bergaya arsitektur Indis. Selain itu dalam perkembangannya permukiman Bintaran juga dilengkapi dengan fasilitas umum seperti sekolah, dan tempat ibadah. Hingga saat ini, bangunan-bangunan di Situs Cagar Budaya Bintaran masih menunjukkan ciri khas gaya arsitektur Indis, bahkan fasilitas seperti tempat ibadah gereja masih digunakan hingga saat ini.
Dalam Kawasan Cagar Budaya Pakualaman ini terdapat 30 (tiga puluh) Bangunan Cagar Budaya dan 8 (delapan) Bangunan Warisan Budaya.
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Peristiwa Sejarah | : | Kawasan Cagar Budaya Pakualaman memiliki kaitan sejarah dengan keberadaan Kadipaten Pakualaman. Kadipaten Pakualaman berdasarkan sejarah kewilayahan pernah menjadi sebuah praja kejawen atau bagian dari vorstenlanden. Statusnya sebagai praja kejawen menunjukkan bahwa eksistensi Kadipaten Pakualaman adalah kadipaten perdikan di Jawa yang memiliki hak otonomi pemerintahan sendiri serta wilayah kekuasaan yang sudah pasti. Keberadaan Kadipaten Pakualaman merupakan bagian sejarah dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kawasan Cagar Budaya Pakualaman memiliki kronologi sejarah berdasarkan morfologi wilayah berdasarkan peta-peta kuno Kota Yogyakarta dan arsip Pura Pakualaman sebagai berikut:1) Gambaran wilayah pada tahun 1830 yang tergambar dalam peta, menunjukkan jaringan jalan dan penanda keberadaan bangunan-bangunan yang belum memperlihatkan bentuk, jenis, dan identitas objek. Pada penggambaran ini dapat diketahui pola ruang Pakualaman telah membentuk area persegi panjang dengan tepi berupa jalan seperti yang tampak sampai saat ini. 2) Pada tahun 1833 mencantumkan nama empat lokasi yaitu: (1) Pakualaman; (2) Natakusuman; (3) Suryaningratan; dan (4) Nataningratan. Peta tersebut merupakan gambaran geografis pada masa pemerintahan K.G.P.A.A. Paku Alam II. 3) Dalam arsip Pura Pakualaman kurun waktu 1822–1939 tercantum beberapa nama kampung: (1) Gunungketur; (2) Margayasan; (3) Kepatihan; (4) Beji/Jagalan; dan (5) Jagalan Ledoksari/Kampung Ledoksari 4) Pada tahun 1872 terdapat peta Kota Yogyakarta yang di dalamnya menggambarkan wilayah Pakualaman. Di dalamnya tergambar jaringan jalan, tata permukiman, bangunan-bangunan penting, kompleks Pura Pakualaman, dan lapangan di depan pura (sewandanan). 5) Tahun 1878–1900 (masa pemerintahan Paku Alam V): terjadi berbagai perubahan di wilayah Pakualaman meliputi tata ruang jaringan jalan dan bangunan. Perubahan yang dapat terlihat berada pada area bagian selatan Pura Pakualaman yang berkembang menjadi area permukiman bagi penduduk kota Yogyakarta dari golongan Eropa. Permukiman tersebut dikenal dengan nama Bintaran. Penghuni di lokasi ini selain orang-orang Eropa, terdapat pula para pekerja seperti opsir tentara Hindia-Belanda, pejabat abdi dalem Pura Pakualaman, serta pejabat pengusaha pabrik gula di wilayah sekitar Yogyakarta. 6) Pada tahun 1903 terdapat peta Kota Yogyakarta di dalamnya tergambar wilayah Pakualaman. Tercantum lokasi Pura Pakualaman dan pasar yang berlokasi di barat pura, terletak di pertigaan jalan “Bintaran Lor” dan “Station Weg”’ 7) Peta Kota Yogyakarta tahun 1925 menampilkan wilayah Pakualaman yang terdiri atas: (1) Goenoengketoer (Gunungketur); (2) Margojasan (Margoyasan); (3) Bedji; dan (4) Ledok Menduran, Ledok Ratmakan, Ledok Ngembraman. Dalam peta ini diketahui jaringan jalan, bentuk kompleks pura, tapak bangunan-bangunan penting seperti (masjid dan dalem kepatihan Pakualaman) tergambar sesuai dengan kondisi yang terlihat saat ini, kecuali posisi pasar masih menempati lokasi di barat pura. |
Riwayat Pelestarian | : | 1) Tahun 2010: Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029, memasukkan Pakualaman sebagai kawasan wisata budaya yang diproyeksikan untuk pengembangan klaster-klaster kawasan pariwisata yang pemanfaatan ruang dan cagar budayanya ditujukan untuk kegiatan pariwisata melalui pengendalian pemanfaatan ruang; dalam rencana fungsi pusat permukiman Kota Yogyakarta, Pakualaman diprioritaskan pada fungsi administrasi kota/kecamatan, pusat pelayanan sosial (kesehatan/keagamaan dll.), pusat produksi pengolahan dan pusat kegiatan pariwisata. 2) Tahun 2011: Gubernur DIY menetapkan Pakualaman yang berada di Kecamatan Pakualaman dan Bintaran yang berada di Kecamatan Mergangsan sebagai Kawasan Cagar Budaya. 3) Tahun 2015: Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta Tahun 2015-2035 memasukkan Pakualaman ke dalam Zona Lindung yang meliputi Zona Cagar Budaya, Zona Ruang Terbuka Hijau Kota, dan Zona Perlindungan Setempat. Pada Zona Cagar Budaya memasukkan Pakualaman sebagai sub zona cagar budaya bersejarah dan ilmu pengetahuan. 4) Tahun 2017: Pemerintah Daerah DIY menetapkan Satuan Ruang Strategis Kadipaten pada Tanah Keprabon yaitu Pura Pakualaman dalam hal arahan tata ruang dan pemanfaatan ruang. 5) Tahun 2021: Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 memasukkan Pakualaman di Kecamatan Pakualaman sebagai KCB Pakualaman; serta memasukkan KCB Pakualaman sebagai salah satu Kawasan Strategis Kota dari Sudut Kepentingan Sosial dan Budaya. 6) Tahun 2021: Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 memasukkan Pakualaman ke dalam Zona Lindung yang meliputi Zona Cagar Budaya (SWP K pada Blok K.1 dan Blok K.2) 7) Tahun 2022: Gubernur DIY menetapkan delineasi Satuan Ruang Strategis Pura Pakualaman. |
Nilai Budaya | : | Kawasan Cagar Budaya Pakualaman merupakan pusat pemerintahan tradisional Kadipaten Pakualaman dengan pola tata ruang yang memiliki konsep khas Catur Gatra Tunggal dengan otentisitas dan integritas yang masih terjaga dalam aspek bentuk, fungsi, dan tata letak (setting) sebagai bukti sejarah perkembangan Kasultanan Yogyakarta abad ke-19 yang masih berlangsung sampai saat ini. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Pemerintah, Pemerintah Daerah, Kadipaten Pakualaman, Swasta, dan Masya |
Nama Pengelola | : | - |