Peristiwa Sejarah |
: |
Berdasarkan informasi yang didapatkan dari
sumber literatur dan hasil wawancara kepada
narasumber dapat diketahui bahwa peristiwa di
masa lalu sebelum terbentuknya Kotagede berawal
pada pemberian hadiah Sultan Hadiwijaya (Raja
Pajang) kepada Ki Ageng Pemanahan atas
bantuannya mengalahkan Aria Jipang. Ki Ageng
Pemanahan beserta adiknya Ki Juru Martani serta
anaknya Sutawijaya yang kemudian diberi gelar
dan diangkat menjadi anaknya yaitu Ngabehi Loring
Pasar.
Berdasarkan data dari Babad dan tulisan De Graaf,
angka tahun babad alas bervariasi ada yang
menyebutkan pembangunan dalem selesai pada
tahun 1578, 1591 bahkan 1610. Angka tahun ini
akhirnya disimpulkan bahwa babad alas dilakukan
pada pertengahan Abad ke-16. Wilayah yang
menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam itu
kemudian dikuasai oleh Ki Ageng Pemanahan
dengan mendirikan pemukiman penduduk serta
membuat sarana pendukung. Menurut Bapak
Natsir, kedatangan Ki Ageng Pemanahan dengan
membangun sebuah perkampungan kemudian
mulai terbentuk kegiatan ekonomi sosial dan mulai
tumbuhlah Pasar sebagai pusat perekonomian
daerah. Berdasarkan data De Graaf, enam tahun
setelah membuka alas Ki Ageng Pemanahan
kemudian meninggal dan dimakamkan di belakang
Masjid Gede Mataram.
Kekuasaan kemudian diberikan kepada anaknya
Sutawijaya yang kemudian dikenal dengan julukan
Panembahan Senopati yang menjadi raja pertama
Kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senopati
kemudian mendirikan keraton yang saat ini data
artefaktualnya tidak ditemukan namun masih
terdapat di data toponim wilayah. Akan tetapi,
berdasarkan informasi masyarakat bahwa bekas
keraton terdapat di Dusun Kedhaton tepatnya di
Situs Watu Gilang yang dianggap oleh masyarakat
sebagai bekas singgasana Panembahan Senopati.
Selain itu, pembangunan komponen kota islam
lainnya seperti benteng,jagang, dan infrastruktur
lainnya.
Bekas tinggalan benteng dan jagang masih
ditemukan di Benteng Cepuri I dan II yang
melingkupi Area Kedhaton serta Dalem, sedangkan
jagang terdapat di sampingnya. Jagang berupa
jurang yang dalam yang diindikasikan memiliki
fungsi keamanan serta pembagian wilayah keraton
dan luar keraton. Selain itu, bukti benteng juga
ditemukan berupa Baluwarti yang mengelilingi
beberapa kelurahan antara lain Klitren, Prenggan,
Mandarakan, Jagalan, Sayangan, Lor Pasar,
Pandean, Alun-alun, dan Pasar. Tinggalan lain
berupa Alun-alun berupa toponim yang saat ini
berupa pemukiman padat penduduk. Selain itu,
Masjid Gede Mataram dan Kompleks Pemakaman
Kotagede saat ini masih dapat dilihat dan
dikunjungi, serta taman kerajaan yang dibangun
oleh Sultan Agung di halaman kerajaan.
Kotagede merupakan Pusat pemerintahan Mataram
Islam yang dikuasai oleh 3 raja yaitu Panembahan
Senopati (..-1604), Panembahan Seda ing Krapyak
(1604-1613) serta Sultan Agung Senapati Ing Alaga
Abdurrahman (1613-1646 M). Kemudian pusat
pemerintahan dipindahkan oleh Amangkurat I ke
Plered. Berdasarkan data sejarah, meskipun pusat
pemerintahan dipindahkan ke Plered, Kotagede
masih mempunyai peran penting dalam
perekonomian kerajaan. Kotagede menjadi pusat
perekonomian dari dulu sampai sekarang bahkan
menurut informasi Bapak Natsir, Kotagede
merupakan suplai perak terbesar yang ada di
Nusantara. Perak Kotagede bukan hanya terkenal
di Nusantara melainkan dikenal oleh negara lain
seperti Belanda, Amerika, dan Eropa. Bapak Natsir
pernah didatangi oleh Peneliti Belanda yang
mempertanyakan asal perak Kotagede yang saat
ini terdapat di Museum Trophen berjumlah 500
buah. Setelah ditelusuri berdasarkan inisial
pembuatnya, perak-perak tersebut merupakan hasil
buatan pengrajin perak di masa lalu dengan
beberapa jenis perak seperti tusuk konde, jepit
biting rambut dengan ornamen kumparan perak
yang sangat indah.
Data toponim Kotagede menunjukkan adanya
pembagian kelompok masyarakat berdasarkan
profesi dan jabatan. Toponim yang menunjukkan
jabatan antara lain: Lor Pasar (kediaman
Panembahan Senopati yang bergelar Loring
Pasar), Prenggan (Dalem Pangeran Pringgolaya),
Trunojayan (Tempat tinggal Trunojayan), Bumen
(Kediaman Pangen Mangkubumi), Jagaragan
(Kediaman Pangeran Jagaraga), Boharen
(Pemukiman Buhari), Jayapranan (Kediaman
Jayapranan), Singosaren (Kediaman Pangeran
SIngosari), Kauman (Pemukiman para ulama),
Mandarakan (Kediaman adipati Mandaraka), dan
Tegalgendu (Pemukimn orang kalang). Toponim
yang menunjukkan profesi antara lain: Samakan
(Pemukiman para penyamak kulit), Pandheyan
(Pemukiman para pandai besi), Mutihan
(Pemukiman Abdi dalem mutih atau a’lim ulama),
Sayangan (Pemukiman para pandai tembaga),
Jagalan (Pemukiman para penyembelih hewan
ternak), Mranggen (Pemukiman para pembuat
sarung besi, tombak serta ukiran-ukiran kecil),
Kemasan (Pemukiman para pengrajin emas), dan
Kritenan (Pemukiman para pengrajin intan).
Pada Perjanjian Giyanti tahun 1755, setelah
pemberontakan yang terjadi dalam memperebutkan
tahta kerajaan, sesuai kesepakatan Pangeran
Mangubumi, Pakubuwono III dan Pihak Belanda,
Kawasan Kotagede dibagi menjadi dua bagian
dengan pembagian yang rata antara wilayah,
jumlah dan jumlah penduduk. Dalam perjanjian
tersebut disebutkan bahwa Makam Kotagede dan
Pasar Kotagede merupakan dua komponen yang
tidak terbagi ke dalam dua kerajaan namun tetap
bersatu. Pada tahun 1920, pembagian wilayah
masih berdasarkan area Kasultanan Yogyakarta
dan Kasunan Surakarta yang lingkup area sebelah
barat (Prenggan, Purbayan, Basen dan Alun-alun)
milik Kasultanan Yogyakarta dan Lingkup area
sebelah timur (Jagalan dan Joyopranan) milik
Kasunanan Surakarta, dan pada tahun 1958
Kasunanan Surakarta dihapus dan bekas
wilayahnya masuk ke dalam pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Pada tahun 1912, lahirlah Organisasi
Muhammadiyah yang termasuk di dalamnya
Syarikatul Mubtadi. Pada tahun 1940, Organisasi
Muhammadiyah mendirikan masjid perak.
Peristiwa lain adalah kedatangan Orang Kalang
yang berasala dari luar WIlayah Kotagede pada
masa pemerintahan Sultan Agung. Orang kalang
dikenal memiliki keahlian pembuatan bangunan dan
kerajianan. Terdapat berbagai versi tentang
kedatangan Orang Kalang di Kotagede. Namun
berdasarkan sumber literatur dan hasil wawancara
bahwa Orang Kalang merupakan pendatang yang
kemudian tinggal di daerah Tegalgendu yang
berada di sebrang Sungai. Awalnya Orang Kalang
merupakan kelompok masyarakat yang memiliki
gerak terbatas namun pada tahun 1925, mereka
mendapatkan kebebasan dari pihak keraton dan
mereka mulai membuka usaha pegadaian. Usaha
tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Kesuksesan orang kalang dikenal oleh masyarakat
Kotagede, kekayaannya yang melimpah terlihat dari
bangunan-bangunan yang saat ini masih dapat
dijumpai seperti Omah Dhuwur, Dalem
Proyodranan, Kantor BPKCB, dan Bangunan
Anshor Silver.
Peristiwa lain yang berkaitan dengan Kotagede
yaitu pembuatan Tugu Jumenengan Kotagede
pada tahun 1940/1941 ketika Sultan HB IX naik
tahta. Tugu Jumenengan dibangun sebagai simbol
penghormatan Masyarakat Kotagede kepada
Sultan.
Kotagede juga tidak terlepas dari peristiwa
kedatangan Orang Kalang yang berpengaruh pada
perkembangan arsitektur yang tampak saat ini.
Orang Kalang dikenal sebagai orang yang ahli
membuat gerobak, perahu, dan keahlian lain di
bidang ukiran. Berdasarkan informasi yang
didapatkan dari Bapak Erwito yang bersumber pada
ensiklopedia yang diterbitkan oleh Dinas
Kebudayaan dijelaskan bahwa Orang Kalang
berasal dari Gombong yang kemudian diundang
datang ke Kotagede dan merintis usaha
penggadaian. Perintis awal yang terkenal yaitu
Bapak Mulyo Suwarno dan usahanya kemudian
dilanjutkan oleh Bapak Prawiro Suwarno yang
dikenal dengan nama “Tembongâ€. Usaha
penggadaian Orang Kalang lebih banyak diminati
masyarakat dibanding usaha yang dibuka oleh
Orang Belanda. Hal ini menyebabkan Pemerintah
Belanda melakukan perubahan regulasi
penggadaian untuk mengalahkan usaha Orang
Kalang. Hal ini menyebabkan usaha penggadaian
yang dimiliki Orang Kalang bangkrut. Kemudian
Prawiro Suwarno diajak oleh salah satu Orang
Belanda untuk membuka usaha intan berlian dan
memonopoli candu. Usahanya berkembang pesat
tidak hanya terkenal di Nusantara melainkan
sampai Asia Tenggara.
Harta melimpah yang dimiliki oleh Prawiro Suwarno
kemudian ditunjukkan dengan merancang
bangunan rumah tinggalnya berbeda dengan
masyarakat Kotagede dengan menambahkan
ornamen bergaya Eropa, Cina dan Arab. Ornamenornamen tersebut masih dapat ditemu sampai saat
ini di beberapa bangunan seperti Anshor Silver,
Omah Dhuwur, Kantor BPKCB, dan Natarn Silver. |