Kawasan Cagar Budaya Kotagede merupakan wilayah bekas ibukota kerajaan Mataram-Islam yang memiliki struktur pola ruang yang khas dengan komponen yang menujukan fungsi sebagai ibu kota kerajaan abad ke-16 sampai dengan abad ke-17. Penulisan nama “Kota Gede” yang berkaitan dengan bekas ibukota Kerajaan Mataram-Islam dibedakan dengan penulisan nama wilayah administrasi saat ini yang menggunakan nama: “Kotagede”.
Kota Gede sebagai pusat pemerintahan (Kuthagara) dihuni selama kurun waktu 1577–1618) berfungsi sebagai pusat hunian yang kemudian menjadi ibukota kerajaan hingga akhirnya terjadi pemindahan ke Kerta oleh Sultan Agung pada tahun 1618. Kota Gede sebagai ibukota kerajaan memiliki komponen bangunan-bangunan fisik yang diketahui dari keterangan sumber tertulis Babad Tanah Jawi, Babad Momana, dan Babad Ing Sangkala, serta laporan-laporan utusan VOC, sebagai berikut:
1) Pintu gerbang tol/pabean. Terletak di beberapa lokasi dalam wilayah Mataram. Pintu gerbang pabean ini berfungsi pula sebagai pos pertahanan, sekaligus sebagai tempat penahanan tawanan-tawanan asing.
2) Jaringan jalan. Laporan utusan VOC menuliskan keberadaan jalan-jalan yang indah dan lebar di dalam wilayah yang dicantumkan sebagai “Cota Saba” dan “Cota Dalm”.
3) Benteng. Terdapat dua lapis benteng, masing-masing untuk sisi luar melingkupi seluruh wilayah Kotagede dan tembok benteng bagian dalam untuk melingkupi lingkungan keraton (susunan ini menyerupai benteng baluwarti-cepuri seperti yang muncul pada masa-masa kemudian). Berdasarkan hasil rekonstruksi pada peta De Kraton's van Pasar Gede, Kerta en Plered tahun 1889 oleh G.P Rouffaer, tembok benteng terluar diperkirakan berukuran panjang keliling 6,73 km yang melingkupi luas 253 ha. Sedangkan benteng bagian dalam yang mengelilingi lingkungan keraton diperkirakan berukuran keliling 1 km melingkupi luas 6,81 ha.
Bahan material benteng diketahui berupa susunan balok batu putih dan bata yang dipasang tanpa menggunakan baik spesi (bahan perekat) maupun plester. Ukuran ketebalan tembok sekitar 120 cm dan tinggi 2 m (pada struktur yang masih tersisa saat ini), pada laporan utusan VOC mencantumkan tinggi benteng 24–30 kaki (7 m–9 m), lebar 4 kaki (1,2 m). Dari keberadaan dan dimensi benteng inilah toponimi Kota Gede berasal: kutha berarti “benteng” (dalam bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, dan Jawa Baru) dan gedhe berarti “luas”.
4) Parit keliling (jagang). Benteng terluar dikelilingi jagang di sisi luar dengan cekungan dalam dan lebar. Jagang sisi utara dan selatan Kota Gede menyatu dengan Sungai Gajah Wong yang berada di sebelah barat. Sedangkan benteng bagian dalam memiliki jagang keliling di sisi timur–selatan–barat yang di bagian sudut barat daya mengalir menuju Sungai Gajah Wong.
5) Pasar. Keberadaan pasar muncul bersamaan dengan dibangunnya permukiman di Kota Gede oleh Ki Pemanahan. Nama Panembahan Senopati sebelumnya bergelar Ngabehi Loring Pasar yang mengindikasikan lokasi kediamannya yang berada di sebelah utara pasar.
6) Masjid Agung. Kompleks bangunan ini berada di sebelah barat toponimi Alun-Alun, selesai dibangun pada tahun 1589 serta mengalami perubahan signifikan pada tahun 1923 setelah mengalami kebakaran pada tahun 1919. Kompleks bangunan masjid menjadi satu dengan kompleks permakaman kerajaan Mataram-Islam dan kolam pemandian yang dipisahkan dengan tembok-tembok pagar keliling dan ditandai dengan beberapa prasasti.
7) Alun-Alun. Berada di sebelah timur masjid agung (Masjid Mataram Kotagede) diperkirakan berupa tanah lapang yang relatif luas.
8) Keraton. Kompleks bangunan keraton berada di selatan Alun-Alun dan dilindungi oleh tembok keliling (cepuri).
9) Taman dan Krapyak. Taman kerajaan berupa Taman Danalaya didirikan oleh Panembahan Anyakrawati (Panembahan Seda Ing Krapyak) yang selesai pada tahun 1605, serta segaran/sasagaran (waduk buatan) pada tahun Jawa 1527, dan membuat krapyak (hutan perburuan) di wilayah yang bernama Beringan.
10) Permukiman penduduk. Persebaran lokasi permukiman penduduk berada di sekitar keraton sebagai titik pusatnya. Keberadaan permukiman diketahui melalui toponimi kampung yang berada di wilayah utara–timur laut keraton, yaitu: Lor Pasar, Prenggan, Trunajayan, Bumen, Jagaragan, Pandheyan, Samakan, Biharen, dan Purbayan; Di wilayah timur–tenggara keraton: Jayapranan dan Mutihan; serta di wilayah selatan–barat keraton: Singasaren, Sayangan, Jagalan, Mranggen, Mandarakan, Kauman, dan Tegalgendu.
11) Lumbung. Keterangan dalam Babad Momana diketahui terdapat lumbung kerajaan di daerah bernama Gading yang dibangun atas perintah Panembahan Seda Ing Krapyak pada tahun 1610. Selain itu diperintahkan pula untuk menanam pohon merica, kemukus, dan kelapa.
12) Permakaman. Kompleks permakaman dibuat pada saat yang sama dengan pembangunan masjid agung (tahun 1589) dan berada di area belakang masjid. Permakaman ini menjadi kompleks permakaman kerajaan yang pertama didirikan, yang pada masa kemudian didirikan permakaman kerajaan di Girilaya dan Imogiri.
Komponen kota pusat pemerintahan (ibukota) di Kota Gede yang masih tersisa di wilayah Kotagede saat ini sebagai tinggalan arkeologis berupa: (a) sisa-sisa struktur benteng, (b) fitur parit (jagang), (c) pasar, (d) masjid agung, dan (e) permakaman kerajaan. Sedangkan komponen yang lain hanya diketahui melalui sumber tertulis dan toponimi di wilayah Kotagede saat ini: (a) pintu gerbang pabean, (b) alun-alun, (c) keraton, (d) taman dan krapyak, (e) permukiman penduduk, serta (f) lumbung.
Sisa struktur benteng luar masih dapat dirunut di beberapa lokasi di sekeliling wilayah Kotagede saat ini, meskipun sebagian besar telah rata dengan permukaan tanah. Perkiraan jalur benteng dari sudut timur laut berada di Kampung Basen (Dukuh Gedongan) saat ini berupa SDN Baluwarti lurus ke selatan, kemudian mengikuti aliran Sungai Manggisan sampai wilayah Dukuh Mutihan Kidul membelok ke barat melewati Dukuh Singosaren Tiga, lalu berbelok ke utara mengikuti aliran Sungai Gajah Wong sampai wilayah Dukuh Darakan (Kelurahan Prenggan), kemudian berbelok ke timur sampai SDN Baluwarti di Dukuh Gedongan lagi.
Bekas jagang benteng terluar saat ini berupa fitur cekungan tanah dengan kedalaman 1 m–3 m dari permukaan lahan di sekitarnya serta memiliki lebar 15 m–25 m. Pemukiman di beberapa desa sepanjang cekungan ini terdapat bangunan-bangunan rumah menggunakan balok batu putih yang berasal dari struktur sisi dalam cekungan. Di beberapa bagian sepanjang cekungan yang lebar saat ini digunakan untuk persawahan, kolam tambak, perumahan, dan bangunan-bangunan gedung.
Sisa struktur benteng dalam diperkirakan mengelilingi kompleks keraton, saat ini berada di Kampung Dalem (Kelurahan Purbayan). Beberapa bagian struktur benteng keliling oleh penduduk disebut cepuri masih terlihat relatif utuh. Sisi utara sebelah barat jalan terdapat runtuhan struktur diduga sisa pintu gerbang, penduduk menyebutnya sebagai “terobosan Raden Rangga”. Di dekat bagian sudut timur laut benteng tepat di belakang permukiman Jalan Rukunan terdapat sisa struktur benteng. Sisi timur benteng relatif dapat dijumpai. Pada sudut tenggara tidak membentuk sudut yang tajam, melainkan melengkung. Oleh karena itu penduduk menyebutnya bokong semar, dari bagian tenggara ini ke barat (sisi selatan benteng) relatif utuh dan masih dapat dijumpai di dalam wilayah Kampung Singosaren Satu. Struktur tembok benteng sisi timur-selatan, dan sebagian di sisi utara telah dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.
Di bagian sisi luar benteng dalam (cepuri), yaitu pada sisi timur–selatan–barat, terlihat bekas keberadaan jagang. Jagang sisi barat masih menyisakan aliran air yang saat ini berupa parit. Data keberadaan jagang baik pada benteng sisi luar (baluwarti) maupun pada benteng sisi dalam (cepuri) diperoleh juga dari interpretasi foto udara inframerah skala 1:3000 yang dibuat pada tahun 1981, selain ketampakan saat ini berupa permukaan tanah yang lebih rendah dan membentuk jalur.
Beberapa tinggalan arkeologis sisa komponen kota telah memiliki status Cagar Budaya. Di dalam Kawasan Cagar Budaya Kotagede terdapat Cagar Budaygar Budaya. Selain itu, terdapat pula Bangunan Cagar Budaya yang merupakan hasil budaya materi perkembangan sejarah dan budaya setelah masa Mataram-Islam. Keberadaan hasil budaya materi dari beberapa zaman di Kotagede, meskipun wilayah ini pada saat tidak lagi berfungsi sebagai ibukota kerajaan, namun masih tetap dihuni serta dipelihara baik oleh abdi dalem makam kerajaan, maupun sebagian penduduknya. Selain itu, meski telah menyandang bekas ibukota kerajaan, namun lokasi Kotagede memiliki fungsi perekonomian penting yang berlangsung secara terus menerus sepanjang lima abad hingga saat ini, yang ditunjukkan dengan keberadaan pasar.
Kawasan Cagar Budaya ini terdapat 2 (dua) Situs Cagar Budaya:
1) Situs Cagar Budaya Masjid Gedhe Mataram Kotagede
Situs Cagar Budaya ini merupakan kompleks makam dan masjid tertua Kerajaan Mataram-Islam. Keberadaan masjid agung merupakan unsur penting sebagai salah satu penanda pusat pemerintahan tradisional yang dilengkapi beberapa komponen sebagai sebuah kota antara lain keraton, alun-alun, masjid, dan pasar.
Keberadaan kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede (berikut dengan kompleks makam dan kolam pemandian) merupakan satu-satunya peninggalan dari komponen ibukota Mataram-Islam di Kotagede yang masih berdiri utuh. Komplek masjid ini merupakan gubahan ruang dan bangunan yang tertata membujur dari timur ke barat meliputi: halaman berbatas tembok pagar; kelompok bangunan penunjang untuk abdi dalem; kelompok bangunan masjid; serta kelompok bangunan pendukung masjid.
Situs Cagar Budaya ini terdiri atas beberapa komponen bangunan dan struktur, serta pembagian tata ruang yang terkait dengan keberadaan kompleks masjid, yaitu bangunan masjid dengan bangunan-bangunan penyertanya, bangunan bangsal, halaman, tembok pagar, gapura, dan tembok kelir. Tata ruang Situs Cagar Budaya ini dikelilingi oleh pagar tembok dari pasangan bata tanpa spesi (perekat) dan tanpa plester. Masing-masing kelompok bangunan memiliki batas tembok keliling yang dilengkapi pintu gerbang. Batas tembok tersebut mempertegas pembagian halaman pada kompleks ini.
2) Situs Cagar Budaya Makam Kerajaan Mataram Kotagede
Situs Cagar Budaya ini merupakan kompleks makam tertua dari Kerajaan Mataram-Islam. Makam tersebut merupakan salah satu komponen bekas ibu kota kerajaan Mataram Islam. Lokasi Makam Kerajaan Mataram Kotagede merupakan gubahan ruang dan tata letak bangunan yang terdiri atas empat kelompok yang masing-masing dipisahkan oleh tembok pagar. Masing-masing pagar dilengkapi dengan pintu gerbang sehingga membentuk kelompok bangunan:
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Tokoh | : | Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram), Panembahan Senopati, dan Sultan Agung. |
Peristiwa Sejarah | : | Berdasarkan informasi yang didapatkan dari sumber literatur dan hasil wawancara kepada narasumber dapat diketahui bahwa peristiwa di masa lalu sebelum terbentuknya Kotagede berawal pada pemberian hadiah Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) kepada Ki Ageng Pemanahan atas bantuannya mengalahkan Aria Jipang. Ki Ageng Pemanahan beserta adiknya Ki Juru Martani serta anaknya Sutawijaya yang kemudian diberi gelar dan diangkat menjadi anaknya yaitu Ngabehi Loring Pasar. Berdasarkan data dari Babad dan tulisan De Graaf, angka tahun babad alas bervariasi ada yang menyebutkan pembangunan dalem selesai pada tahun 1578, 1591 bahkan 1610. Angka tahun ini akhirnya disimpulkan bahwa babad alas dilakukan pada pertengahan Abad ke-16. Wilayah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam itu kemudian dikuasai oleh Ki Ageng Pemanahan dengan mendirikan pemukiman penduduk serta membuat sarana pendukung. Menurut Bapak Natsir, kedatangan Ki Ageng Pemanahan dengan membangun sebuah perkampungan kemudian mulai terbentuk kegiatan ekonomi sosial dan mulai tumbuhlah Pasar sebagai pusat perekonomian daerah. Berdasarkan data De Graaf, enam tahun setelah membuka alas Ki Ageng Pemanahan kemudian meninggal dan dimakamkan di belakang Masjid Gede Mataram. Kekuasaan kemudian diberikan kepada anaknya Sutawijaya yang kemudian dikenal dengan julukan Panembahan Senopati yang menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senopati kemudian mendirikan keraton yang saat ini data artefaktualnya tidak ditemukan namun masih terdapat di data toponim wilayah. Akan tetapi, berdasarkan informasi masyarakat bahwa bekas keraton terdapat di Dusun Kedhaton tepatnya di Situs Watu Gilang yang dianggap oleh masyarakat sebagai bekas singgasana Panembahan Senopati. Selain itu, pembangunan komponen kota islam lainnya seperti benteng,jagang, dan infrastruktur lainnya. Bekas tinggalan benteng dan jagang masih ditemukan di Benteng Cepuri I dan II yang melingkupi Area Kedhaton serta Dalem, sedangkan jagang terdapat di sampingnya. Jagang berupa jurang yang dalam yang diindikasikan memiliki fungsi keamanan serta pembagian wilayah keraton dan luar keraton. Selain itu, bukti benteng juga ditemukan berupa Baluwarti yang mengelilingi beberapa kelurahan antara lain Klitren, Prenggan, Mandarakan, Jagalan, Sayangan, Lor Pasar, Pandean, Alun-alun, dan Pasar. Tinggalan lain berupa Alun-alun berupa toponim yang saat ini berupa pemukiman padat penduduk. Selain itu, Masjid Gede Mataram dan Kompleks Pemakaman Kotagede saat ini masih dapat dilihat dan dikunjungi, serta taman kerajaan yang dibangun oleh Sultan Agung di halaman kerajaan. Kotagede merupakan Pusat pemerintahan Mataram Islam yang dikuasai oleh 3 raja yaitu Panembahan Senopati (..-1604), Panembahan Seda ing Krapyak (1604-1613) serta Sultan Agung Senapati Ing Alaga Abdurrahman (1613-1646 M). Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan oleh Amangkurat I ke Plered. Berdasarkan data sejarah, meskipun pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered, Kotagede masih mempunyai peran penting dalam perekonomian kerajaan. Kotagede menjadi pusat perekonomian dari dulu sampai sekarang bahkan menurut informasi Bapak Natsir, Kotagede merupakan suplai perak terbesar yang ada di Nusantara. Perak Kotagede bukan hanya terkenal di Nusantara melainkan dikenal oleh negara lain seperti Belanda, Amerika, dan Eropa. Bapak Natsir pernah didatangi oleh Peneliti Belanda yang mempertanyakan asal perak Kotagede yang saat ini terdapat di Museum Trophen berjumlah 500 buah. Setelah ditelusuri berdasarkan inisial pembuatnya, perak-perak tersebut merupakan hasil buatan pengrajin perak di masa lalu dengan beberapa jenis perak seperti tusuk konde, jepit biting rambut dengan ornamen kumparan perak yang sangat indah. Data toponim Kotagede menunjukkan adanya pembagian kelompok masyarakat berdasarkan profesi dan jabatan. Toponim yang menunjukkan jabatan antara lain: Lor Pasar (kediaman Panembahan Senopati yang bergelar Loring Pasar), Prenggan (Dalem Pangeran Pringgolaya), Trunojayan (Tempat tinggal Trunojayan), Bumen (Kediaman Pangen Mangkubumi), Jagaragan (Kediaman Pangeran Jagaraga), Boharen (Pemukiman Buhari), Jayapranan (Kediaman Jayapranan), Singosaren (Kediaman Pangeran SIngosari), Kauman (Pemukiman para ulama), Mandarakan (Kediaman adipati Mandaraka), dan Tegalgendu (Pemukimn orang kalang). Toponim yang menunjukkan profesi antara lain: Samakan (Pemukiman para penyamak kulit), Pandheyan (Pemukiman para pandai besi), Mutihan (Pemukiman Abdi dalem mutih atau a’lim ulama), Sayangan (Pemukiman para pandai tembaga), Jagalan (Pemukiman para penyembelih hewan ternak), Mranggen (Pemukiman para pembuat sarung besi, tombak serta ukiran-ukiran kecil), Kemasan (Pemukiman para pengrajin emas), dan Kritenan (Pemukiman para pengrajin intan). Pada Perjanjian Giyanti tahun 1755, setelah pemberontakan yang terjadi dalam memperebutkan tahta kerajaan, sesuai kesepakatan Pangeran Mangubumi, Pakubuwono III dan Pihak Belanda, Kawasan Kotagede dibagi menjadi dua bagian dengan pembagian yang rata antara wilayah, jumlah dan jumlah penduduk. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa Makam Kotagede dan Pasar Kotagede merupakan dua komponen yang tidak terbagi ke dalam dua kerajaan namun tetap bersatu. Pada tahun 1920, pembagian wilayah masih berdasarkan area Kasultanan Yogyakarta dan Kasunan Surakarta yang lingkup area sebelah barat (Prenggan, Purbayan, Basen dan Alun-alun) milik Kasultanan Yogyakarta dan Lingkup area sebelah timur (Jagalan dan Joyopranan) milik Kasunanan Surakarta, dan pada tahun 1958 Kasunanan Surakarta dihapus dan bekas wilayahnya masuk ke dalam pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1912, lahirlah Organisasi Muhammadiyah yang termasuk di dalamnya Syarikatul Mubtadi. Pada tahun 1940, Organisasi Muhammadiyah mendirikan masjid perak. Peristiwa lain adalah kedatangan Orang Kalang yang berasala dari luar WIlayah Kotagede pada masa pemerintahan Sultan Agung. Orang kalang dikenal memiliki keahlian pembuatan bangunan dan kerajianan. Terdapat berbagai versi tentang kedatangan Orang Kalang di Kotagede. Namun berdasarkan sumber literatur dan hasil wawancara bahwa Orang Kalang merupakan pendatang yang kemudian tinggal di daerah Tegalgendu yang berada di sebrang Sungai. Awalnya Orang Kalang merupakan kelompok masyarakat yang memiliki gerak terbatas namun pada tahun 1925, mereka mendapatkan kebebasan dari pihak keraton dan mereka mulai membuka usaha pegadaian. Usaha tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kesuksesan orang kalang dikenal oleh masyarakat Kotagede, kekayaannya yang melimpah terlihat dari bangunan-bangunan yang saat ini masih dapat dijumpai seperti Omah Dhuwur, Dalem Proyodranan, Kantor BPKCB, dan Bangunan Anshor Silver. Peristiwa lain yang berkaitan dengan Kotagede yaitu pembuatan Tugu Jumenengan Kotagede pada tahun 1940/1941 ketika Sultan HB IX naik tahta. Tugu Jumenengan dibangun sebagai simbol penghormatan Masyarakat Kotagede kepada Sultan. Kotagede juga tidak terlepas dari peristiwa kedatangan Orang Kalang yang berpengaruh pada perkembangan arsitektur yang tampak saat ini. Orang Kalang dikenal sebagai orang yang ahli membuat gerobak, perahu, dan keahlian lain di bidang ukiran. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Bapak Erwito yang bersumber pada ensiklopedia yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dijelaskan bahwa Orang Kalang berasal dari Gombong yang kemudian diundang datang ke Kotagede dan merintis usaha penggadaian. Perintis awal yang terkenal yaitu Bapak Mulyo Suwarno dan usahanya kemudian dilanjutkan oleh Bapak Prawiro Suwarno yang dikenal dengan nama “Tembongâ€. Usaha penggadaian Orang Kalang lebih banyak diminati masyarakat dibanding usaha yang dibuka oleh Orang Belanda. Hal ini menyebabkan Pemerintah Belanda melakukan perubahan regulasi penggadaian untuk mengalahkan usaha Orang Kalang. Hal ini menyebabkan usaha penggadaian yang dimiliki Orang Kalang bangkrut. Kemudian Prawiro Suwarno diajak oleh salah satu Orang Belanda untuk membuka usaha intan berlian dan memonopoli candu. Usahanya berkembang pesat tidak hanya terkenal di Nusantara melainkan sampai Asia Tenggara. Harta melimpah yang dimiliki oleh Prawiro Suwarno kemudian ditunjukkan dengan merancang bangunan rumah tinggalnya berbeda dengan masyarakat Kotagede dengan menambahkan ornamen bergaya Eropa, Cina dan Arab. Ornamenornamen tersebut masih dapat ditemu sampai saat ini di beberapa bangunan seperti Anshor Silver, Omah Dhuwur, Kantor BPKCB, dan Natarn Silver. |
Konteks | : | Kotagede merupakan tempat lahirnya Kerajaan Mataram Islam dan merupakan kerajaan islam yang mengalahkan Kerajaan Pajang. Pola tata ruang kawasan menunjukkan adanya kesinambungan budaya yang berasosiasi dengan pola tata ruang kerajaan islam dengan komponen yang sama seperti Demak, Cirebon, dan Banten. Komponen Kota Islam yang pada umumnya ditemukan yaitu Keraton (kedhaton, dalem) sebagai rumah tinggal raja dan pusat pemerintahan, Alun-alun sebagai pusat kegiatan sosial, Masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan, Pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian, benteng dan jagang sebagai pusat keamanan, pertahanan dan batas wilayah, dan pemukiman. |
Riwayat Pelestarian | : | 1) Tahun 2010, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan kegiatan Penyusunan Rencana Induk Terpadu Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 2) Tahun 2010, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029 memasukkan Kotagede sebagai kawasan wisata budaya yang diproyeksikan untuk pengembangan cluster-cluster kawasan pariwisata yang pemanfaatan ruang dan cagar budayanya ditujukan untuk kegiatan pariwisata melalui pengendalian pemanfaatan ruang; dalam rencana fungsi pusat permukiman Kota Yogyakarta, Kotagede diprioritaskan pada fungsi administrasi kota/kecamatan, pusat pelayanan sosial (kesehatan/keagamaan dll), pusat produksi pengolahan dan pusat kegiatan pariwisata. 3) Tahun 2011, Gubernur DIY menetapkan Kotagede sebagai Kawasan Cagar Budaya. 4) Tahun 2014, Pemerintah Daerah Provinsi DIY menetapkan panduan arsitektur bangunan baru bernuansa budaya daerah, pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede memakai gaya arsitektur Tradisional Jawa atau Klasik. 5) Tahun 2015, Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Forum Badan Pengelola Cagar Budaya Kotagede Daerah Istimewa Yogyakarta Masa Bakti Tahun 2015-2018. 6) Tahun 2015, Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta Tahun 2015-2035 memasukkan Kotagede ke dalam Zona Lindung yang meliputi Zona Cagar Budaya, Zona Terbuka Hijau dan Zona Pelindungan Setempat. Pada Zona Cagar Budaya memasukkan Kotagede sebagai subzona cagar budaya bersejarah dan ilmu pengetahuan. 7) Tahun 2017, Pemerintah Daerah DIY menetapkan Satuan Ruang Strategis Kasultanan pada Tanah Keprabon yang antara lain meliputi Masjid dan Makam Raja Mataram di Kotagede dalam hal arahan tata ruang dan pemanfaatan ruang. 8) Tahun 2019, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan kegiatan Pembinaan dan Pengelolaan Permuseuman melalui Kajian Tata Pamer dan Koleksi Living Museum Kotagede. 9) Tahun 2019, Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Kelompok Kerja Teknis Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 10) Tahun 2020, Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Kelompok Kerja Teknis Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 11) Tahun 2021, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 memasukkan Kotagede sebagai salah satu klaster kawasan pusat kegiatan pariwisata yang merupakan area terpadu yang dikembangkan secara tematik dengan fokus pada pelayanan kegiatan pariwisata; serta memasukkan KCB Kotagede sebagai salah satu Kawasan Strategis Kota dari Sudut Kepentingan Sosial dan Budaya. 12) Tahun 2021, Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 memasukkan Kotagede ke dalam Zona Lindung yang meliputi Zona Cagar Budaya (SWP F pada Blok F.2 dan Blok F.3; serta di SWP M pada Blok M.1 dan Blok M.7). 13) Tahun 2021 Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Kelompok Kerja Teknis Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 14) Tahun 2022, Gubernur DIY menetapkan delineasi Satuan Ruang Strategis masjid dan makam raja Mataram dl Kotagede. |
Riwayat Pemanfaatan | : | Kotagede memiliki fungsi ekonomi sejak mulai tumbuh dan berkembangnya pemukiman di sekitar Kotagede. Saat ini, Kotagede masih menjadi pusat ekonomi masyarakat dengan berbagai komoditas dagang seperti perak, batik, makanan tradisional dan lain sebagainya. Meskipun, terjadi perubahan profesi masyarakat jika dilihat berdasarkan toponim yang masih ada saat ini. Akan tetapi, Kotagede masih menjadi pusat ekonomi yang mempertahankan hari pasar. Selain itu, saat ini Kotagede juga berperan penting dalam kegiatan pariwisata di Yogyakarta. Walaupun kedatangan wisatawan berawal dari budaya ziarah dan ketertarikan terhadap perak, saat ini mulai banyak wisatawan yang datang untuk menikmati Gaya Arsitektur Kotagede, Tinggalan Sejarah Budaya dan Kesenian yang masih dilestarikan oleh masyarakat. |
Nilai Budaya | : | Kawasan Cagar Budaya Kotagede merupakan cikal bakal ibukota Kerajaan Mataram-Islam di Jawa |
Nama Pemilik Terakhir | : | Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kasunanan Surakarta, Balai Peles |
Nama Pengelola | : | Pokjanis Kotagede |
Catatan Khusus | : | Catatan Tambahan Tim Survei KCB Kotagede: Berdasarkan data yang didapatkan tim survei KCB Kotagede dari Dinas Kebudayaan daftar dusun yang masuk dalam area survei antara lain: Kelurahan Prenggan (Jalan Mondorakan, Pekaten, Trunojayan, Darakan, dan Prenggan Selatan), Kelurahan Purbayan (Pasegan, Bumen, Samakan, Dolahan, Boharen, Alun-alun, Purbayan, Dalem, Kebonan, dan Cokroyudan), Desa Jagalan (Sayangan, Dondongan, Kudusan, Krintenan, Celenan dan Citran ), Kelurahan Rejowinangun, Desa Singosaren (Dusun Joyopranan). Dalam proses survei terdapat beberapa rumah yang tidak memberikan izin tim survei untuk melakukan wawancara dan pendokumentasian bangunan. Catatan Tambahan Narasumber: Berdasarkan hasil wawancara kepada narasumber, selain perubahan fisik bangunan perubahan yang penting untuk dijadikan sebagai objek perhatian yaitu perubahan pola pikir masyarakat. Berdasarkan pengamatan narasumber teradi degradasi sosial masyarakat Kotagede. Satu hal yang paling penting yang banyak dibahas oleh Narasumber yaitu perubahan kondisi sosial masyarakat Kotagede yang sangat besar yang berdampak pada pola pikir yang bersifat intengible dan pada akhirnya berdampak pada tindakan. Masyarakat Kotagede sangat memahami bangunan rumah tinggal yang termasuk dalam kategori Cagar Budaya dan Warisan Budaya merupakan tempat yang harus dijaga dan dilestarikan karena mereka memahami apa yang mereka miliki merupakan hal penting yang harus dijaga. Masyarakat memahami bahwa membangun rumah berarti mereka membangun sebuah kehidupan. Permasalahan yang cukup besar yang banyak dihadapi oleh narasumber yang menyebabkan banyaknya rumah tradisional yang dijual adalah faktor ekonomi masyarakat. Ekonomi adalah permasalahan yang paling sensitif yang dihadapi oleh masyarakat, berbagai permasalahan yang muncul baik yang disebabkan oleh pembagian waris, kebutuhan finansial dan lain sebagainya. Bapak Natsir menegaskan bahwa tindakan masyarakat tersebut tidak terhitung sebagai bentuk ketidak pedulian masyarakat terhadap pelestarian warisan budaya, namun karena keadaan masyarakat yang berada dalam tekanan yang menyebabkan mereka melakukan tindakan tersebut. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan narasumber disimpulkan bahwa perubahan masyarakat terjadi jika mereka mengalami peristiwa besar. Hal ini terlihat sejak masa reformasi, pasca reformasi dan pasca gempa. Pada awal abad 21, Kotagede yang memiliki pengrajin mulai mengembangkan usaha perak. Di masa lalu, jumlah pengrajin perak di Kotagede yaitu 627 pengrajin. Namun seiring perkembangan yang ada terjadi penurunan jumlah pengrajin yang disebabkan oleh harga bahan yang fluktuatif dan bahan baku yang sulit dicari. |