Loading

Kawasan Cagar Budaya Kotagede

Status : Kawasan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Kawasan Cagar Budaya Kotagede merupakan wilayah bekas ibu kota kerajaan Mataram-Islam yang memiliki struktur pola ruang yang khas dengan komponen yang menujukan fungsi sebagai ibu kota kerajaan abad ke-16 sampai dengan abad ke-17. Penulisan nama "Kota Gede" yang berkaitan dengan bekas ibu kota Kerajaan Mataram-Islam dibedakan dengan penulisan nama wilayah administrasi saat ini yang menggunakan nama: "Kotagede". 

Kota Gede sebagai pusat pemerintahan (Kuthagara) dihuni selama kurun waktu tahun 1577-1618 berfungsi sebagai hunian yang kemudian menjadi ibu kota kerajaan hingga akhirnya terjadi pemindahan ke Kerta oleh Sultan Agung pada tahun 1618. Kota Gede sebagai ibu kota kerajaan memiliki komponen 
bangunan-bangunan fisik yang diketahui dari keterangan sumber tertulis Babad Tanah Jawi, Babad 
Momana, dan Babad Ing Sangkala, serta laporan-lapora utusan VOC, sebagai berikut:

(1) Pintu gerbang t olf pabean. Terletak di beberapa lokasi dalam wilayah Mataram. Pintu gerbang pabean ini berfungsi pula se bagai pos pertahanan, sekaligus sebagai tempat penahanan tawanan-tawanan asing. 
(2) Jaringan jalan. Laporan utusan VOC menuliskan keberadaan jalan-jalan yang indah dan lebar di dalam wilayah yang dicantumkan sebagai "Cota Saba" dan "Cota Dalm". 
(3) Benteng. Terdapat dua lapis benteng, masing-masing untuk sisi luar melingkupi seluruh 
wilayah Kotagede dan tembok benteng bagian dalam untuk melingkupi lingkungan keraton (susunan ini menyerupai benteng baluwarti-cepuri seperti yang muncul pada masa-masa kemudian). Berdasarkan hasil rekonstruksi pada peta De Kraton's van Pasar Gede, Kerta en Plered tahun 1889 oleh G.P Rouffaer, tembok benteng terluar diperkirakan berukuran panjang keliling 6,73 km yang melingkupi luas 253 ha. Sedangkan benteng bagian dalam yang mengelilingi lingkungan keraton diperkirakan berukuran keliling 1 km melingkupi luas 6,81 ha.
Bahan material benteng diketahui berupa susunan balok batu putih dan bata yang dipasang tanpa menggunakan baik spesi (bahan perekat) maupun plester. Ukuran ketebalan tembok sekitar 120 em dan tinggi 2 m (pada struktur yang masih tersisa saat ini), pada laporan utusan VOC mencantumkan tinggi benteng 24-30 kaki (7 m-9 m), lebar 4 kaki (1,2 m). Dari keberadaan dan dimensi benteng inilah toponimi Kota Gede berasal: kutha berarti "benteng" (dalam bahasa Sansekerta, Jawa Kuno, dan Jawa Baru) dan gedhe berarti "luas". 
(4) Parit keliling Uagang). Benteng terluar dikelilingi jagang di sisi luar dengan cekungan dalam dan lebar. Jagang sisi utara dan selatan Kota Gede menyatu dengan Sungai Gajah Wong yang berada di sebelah barat. Sedangkan benteng bagian dalam memiliki jagang keliling di sisi timur-selatan-barat yang di bagian sudut barat daya mengalir menuju Sungai Gajah Wong. 
(5) Pasar. Keberadaan pasar muncul bersamaan dengan dibangunnya permukiman di Kota Gede oleh Ki Pemanahan. Nama Panembahan Senopati sebelumnya bergelar Ngabehi Loring Pasar yang mengindikasikan lokasi kediamannya yang berada di sebelah utara pasar.
(6) Masjid Agung. Kompleks bangunan ini berada di sebelah barat toponimi Alun-Alun, selesai dibangun pada tahun 1589 serta mengalami perubahan signifikan pada tahun 1923 setelah mengalami kebakaran pada tahun 1919. Kompleks bangunan masjid menjadi satu dengan kompleks permakaman kerajaan Mataram-Islam dan kolam pemandian yang dipisahkan dengan tembok-tembok pagar keliling dan ditandai dengan beberapa prasasti. 
(7) Alun-Alun. Berada di sebelah timur masjid agung (Masjid Mataram Kotagede) diperkirakan berupa tanah lapang yang relatif luas. 
(8) Keraton. Kompleks bangunan keraton berada di selatan Alun-Alun dan dilindungi oleh tembok keliling (cepuri). 
(9) Taman dan Krapyak. Taman kerajaan berupa Taman Danalaya didirikan oleh Panembahan Anyakrawati (Panembahan Seda Ing Krapyak) yang selesai pada tahun 1605, serta segaran-sasagaran (waduk buatan) pada tahun Jawa 1527, dan membuat krapyak (hutan perburuan) di wilayah yang bernama Beringan. 
(10) Permukiman penduduk. Persebaran lokasi permukiman penduduk berada di sekitar keraton sebagai titik pusatnya. Keberadaan permukiman diketahui melalui toponimi kampung yang berada di wilayah utara-timur laut keraton, yaitu: Lor Pasar, Prenggan, Trunajayan, Bumen, Jagaragan, Pandheyan, Samakan, Biharen, dan Purbayan; Di wilayah timur-tenggara keraton: Jayapranan dan Mutihan; serta di wilayah selatan-barat keraton: Singasaren, Sayangan, Jagalan, Mranggen, Mandarakan, Kauman, dan Tegalgendu. 
(11) Lumbung. Keterangan dalam Babad Momana diketahui terdapat lumbung kerajaan di daerah bernama Gading yang dibangun atas perintah Panembahan Seda Ing Krapyak pada tahun 1610. Selain itu diperintahkan pula untuk menanam pohon merica, kemukus, dan kelapa. 
(12) Permakaman. Kompleks permakaman dibuat pada saat yang sama dengan pembangunan masjid agung (tahun 1589) dan berada di area belakang masjid. Permakaman 1n1 menjadi kompleks permakaman kerajaan yang pertama didirikan, yang pada masa kemudian didirikan permakaman kerajaan di Girilaya dan Imogiri.

Komponen kota pusat pemerintahan (ibu kota) di Kota Gede yang masih tersisa di Kawasan Cagar Budaya Kotagede saat ini sebagai tinggalan arkeologis berupa: (a) sisa-sisa struktur benteng, (b) fitur parit (jagang), (c) pasar, (d) masjid agung (gedhe), dan (e) permakaman kerajaan. Sedangkan komponen yang lain hanya diketahui melalui sumber tertulis dan toponimi di Kawasan Cagar Budaya Kotagede saat ini: (a) pintu gerbang pabean, (b) alun-alun, (c) keraton, {d) taman dan krapyak, (e) Permukiman penduduk (f) lumbung. 

Sisa struktur benteng luar masih dapat dirunut di beberapa lokasi di sekeliling wilayah Kotagede saat ini, meskipun sebagian besar telah rata dengan permukaan tanah. Perkiraan jalur benteng dari sudut timur laut berada di Kampung Basen (Dukuh Gedongan) saat ini berupa SDN Baluwarti lurus ke selatan, kemudian mengikuti a1iran Sungai Manggisan sampai wilayah Dukuh Mutihan Kidul membelok ke barat melewati Dukuh Singosaren Tiga, lalu berbelok ke utara mengikuti aliran Sungai Gajah Wong sampai wilayah Dukuh Darakan (Kelurahan Prenggan), kemudian berbelok ke timur sampai SDN Baluwarti di Dukuh Gedongan lagi. 

Bekas jagang benteng terluar saat ini berupa fitur cekungan tanah dengan kedalaman 1 m-3 m dari permukaan lahan di sekitarnya serta memiliki lebar 15 m-25 m. Pemukiman di beberapa desa sepanjang cekungan ini terdapat bangunan-bangunan rumah menggunakan balok batu pu tih yang berasal dari struktur sisi dalam cekungan. Di beberapa bagian sepanjang cekungan yang lebar saat ini digunakan untuk persawahan, kolam tambak, perumahan, dan bangunan-bangunan gedung. 

Sisa struktur benteng dalam diperkirakan mengelilingi kompleks keraton, saat ini berada di Kampung Dalem (Kelurahan Purbayan). Beberapa bagian struktur benteng keliling oleh penduduk disebut cepuri masih terlihat relatif utuh. Sisi utara sebelah barat jalan terdapat runtuhan struktur diduga sisa pintu gerbang, penduduk menyebutnya sebagai "terobosan Raden Rangga". Di dekat bagian sudut timur laut benteng tepat di belakang permukiman Jalan Rukunan terdapat sisa struktur benteng. Sisi timur benteng relatif dapat dijumpai. Pada sudut tenggara tidak membentuk sudut yang tajam, melainkan melengkung. Oleh karena itu penduduk menyebutnya bokong semar, dari bagian tenggara ini ke barat (sisi selatan benteng) relatif utuh dan masih dapat dijumpai di dalam wilayah Kampung Singosaren Satu. Struktur tembok benteng sisi timur-selatan, dan sebagian di sisi utara telah dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY. Di bagian sisi luar benteng dalam (cepuri), yaitu pada sisi timur-selatan-barat, terlihat bekas keberadaan jagang. Jagang sisi barat masih menyisakan aliran air yang saat ini berupa parit. Data keberadaan jagang baik pada benteng sisi luar (baluwarti) maupun pada benteng sisi dalam (cepuri) diperoleh juga dari interpretasi foto udara inframerah skala 1:3000 yang dibuat pada tahun 1981, selain ketampakan saat ini berupa permukaan tanah yang lebih rendah dan membentuk jalur. 

Beberapa tinggalan arkeologis sisa komponen kota telah memiliki status Cagar Budaya. Di dalam Kawasan Cagar Budaya Kotagede terdapat Cagar Budaya, W arisan Budaya, dan Objek Diduga eagar Budaya. Selain itu, terdapat pula Bangunan Cagar Budaya yang merupakan hasil budaya materi perkembangan sejarah dan budaya setelah masa Mataram-Islam. Keberadaan hasil budaya materi dari beberapa zaman di Kotagede, meskipun wilayah ini pada saat tidak lagi berfungsi sebagai ibu kota kerajaan, namun masih tetap dihuni serta dipelihara baik . oleh abdi dalem makam kerajaan, maupun sebagian penduduknya. Selain itu, meski telah menyandang bekas ibu kota kerajaan, namun lokasi Kotagede memiliki fungsi perekonomian penting yang berlangsung secara terus menerus sepanjang lima abad hingga saat ini, yang ditunjukkan dengan keberadaan pasar. 

Di Kawasan Cagar Budaya Kotagede sampai saat ini terdapat toponimi nama-nama kampung yang menunjukkan peristiwa bersejarah, tokoh sejarah, atau kegiatan masyarakat pada masa lalu, dan diversitas sosial serta profesi pada masa lalu (tabel daftar nama toponimi terlampir). Kawasan eagar Budaya Kotagede memiliki 2 (dua) Situs eagar Budaya: 

1. Situs Cagar Budaya Masjid Gedhe Mataram Kotagede 
Situs Cagar Budaya ini merupakan kompleks masjid tertua Kerajaan Mataram-Islam. Keberadaan masjid Gedhe merupakan unsur penting sebagai salah satu penanda pusat pemerintahan tradisional. Keberadaan kompleks Masjid Gedhe Mataram Kotagede merupakan satu-satunya peninggalan dari komponen ibu kota Mataram-Islam di Kotagede yang masih berdiri utuh. Komplek masjid ini merupakan gu bahan ruang dan bangunan yang tertata membujur dari timur ke barat meliputi: halaman berbatas tembok pagar; bangunan penunjang untuk abdi dalem ndondongan; bangunan masjid dan serambi; serta bangunan bangsal pendukung masjid. 
Situs Cagar Budaya ini terdiri atas beberapa komponen bangunan dan struktur, serta pembagian tata ruang yang terkait dengan keberadaan kompleks masjid, yaitu bangunan masjid dengan bangunan-bangunan penyertanya, bangunan bangsal, halaman, tembok pagar, gapura, dan tembok kelir. Tata ruang Situs Cagar Budaya ini dikelilingi oleh pagar tembok dari pasangan bata tanpa spesi (perekat) dan tanpa plester. Masing-masing kelompok bangunan memiliki batas tembok keliling yang dilengkapi pintu gerbang. Batas tembok tersebut mempertegas pembagian halaman pada kompleks ini. 

2. Situs Cagar Budaya Makam Kerajaan Mataram Kotagede 
Situs Cagar Budaya ini merupakan kompleks makam tertua dari Kerajaan Mataram-Islam. Makam tersebut merupakan salah satu komponen bekas ibu kota kerajaan Mataram Islam. situs Makam Kerajaan Mataram Kotagede merupakan gubahan ruang dan tata letak bangunan yang terdiri atas empat kelompok bangunan yang masing-masing dipisahkan oleh tembok pagar dan dilengkapi dengan pintu gerbang. Empat kelompok bangunan: 
a. Kompleks Bangsal Dhudha terdiri atas bangunan bangsal Dhudha, kelir, pagar dan gapura. 
b. Kompleks Bangsal Kawedanan Juru Kunci terdiri atas 2 (dua) bangunan bangsal dan 2 (dua) bangsal tambahan 
c. Kompleks Makam terdiri atas beberapa bangunan cungkup dan struktur (berupa jirat dan nisan), gapura serta pagar. 
d. Kompleks sendang pemandian terdiri atas struktur Sendang Seliran putra dan Sendang Seliran putri, bangunan bangsal, tembok pagar, gapura, dan tembok kelir 

Status : Kawasan Cagar Budaya
Periodesasi : Islam
Alamat :
Koordinat:
7.827984° S, 110.38996° E

SK Gubernur : SK Gub Nomor 131/KEP/2023


Lokasi Kawasan Cagar Budaya Kotagede di Peta

Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Fungsi Bangunan : Perkotaan
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Fungsi Situs : Perkotaan
Fungsi : Perkotaan
Tema Kawasan : Pemukiman
Objek Yang Termasuk : 49 objek WBCB
Tokoh : Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram), Panembahan Senopati, dan Sultan Agung.
Konteks : Kawasan Cagar Budaya Kotagede merupakan kawasan permukiman yang dibangun melalui pembukaan hutan Mentaok pada abad ke-16. Wilayah ini merupakan hadiah dari Sultan Hadiwijaya raja Pajang kepada Ki Pemanahan (Ki Pamanahan). Tempat ini berupa wilayah berdekatan dengan Sungai Gajah Wong, yang terletak 60 km sebelah barat Kraton Pajang. Lokasi ini pasca pembangunannya kemudian berkembang sebagai cikal bakal ibu kota pertama kerajaan Mataram-Islam, yang dipimpin Panembahan Senopati ( 1584-1601); Panembahan Anyakrawati (Panembahan Seda Ing Krapyak, 1601-1613); dan Sultan Agung (periode 1613-1618). Ki Pemanahan kemudian bergelar Ki Gedhe Mataram saat menghuni tempat ini selama enam tahun sebelum wafat pada tahun 1584. Sepeninggalnya, putra Ki Gedhe Mataram bemama Sutawijya yang bergelar Ngabehi Loring Pasar menggantikan posisi penguasa di Mataram dan diberi gelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama. Pada masa-masa awal jabatannya, Senopati diperkenankan tidak hadir menghadap secara periodik ke Pajang sebagai anugerah Sultan pajang kepada Senopati untuk memberikan keleluasaan Senopati dalam pembangunan wilayahnya. Pengganti Sultan Pajang, yaitu Pangeran Benawa pada tahun 1587 menyerahkan hak takhta Pajang kepada Senopati yang kemudian berganti gelar menjadi Panembahan Senopati. Peristiwa ini menandai beralihnya hegemoni Pajang kepada Panembahan Senopati serta beralihnya pusat pemerintahan sepenuhnya ke wilayah huniannya di Mataram yang kemudian dikenal dengan nama Kota Gede. Dalam perjalanan sejarahnya, Kota Gede tidak hanya menjadi pusat pemerintahan pada periode Panembahan Senopati tetapi juga pada periode Panembahan Seda Ing Krapyak dan sebagian periode Sultan Agung. Dengan demikian, Kota Gede tidak lama menjadi pusat pemerintahan, yaitu sekitar 31 tahun, dimulai sejak pengangkatan Senopati menjadi Panembahan pada tahun 1587 sampai dengan tahun 1618 saat pemindahan ibu kota ke Kerta oleh Sultan Agung. Pada saat berpindahnya ibukota di Kerta, wilayah Kota Gede masih dihuni oleh ibu suri. Selama pemerintahan Panembahan Senopati banyak melakukan peperangan untuk memperluas wilayah dan penaklukan bupati-bupati yang tidak mengakui kekuasaannya. Di saat bersamaan Senopati meneruskan usaha pembangunan dan penataan Kota Gede sebagai ibu kota Mataram yang sudah dimulai sejak masa Ki Ageng Mataram. Dalam keterangan Babad Tanah Jawi tercantum bahwa Senopati memerintahkan pembangunan benteng dari bata beserta jagang. Selain itu pada Babad Momana tercantum pembangunan Masjid yang selesai pada tahun 1589 sekaligus permakaman kerajaan. Babad Momana dan Babad Ing Sangkala memuat berita tentang aktivitas pembangunan-pembangunan fisik di ibu kota dan sekitarnya. Pada akhir masa pemerintahan Panembahan Anyakrawati (putra Panembahan Senopati sebagai penguasa penerus berikutnya) mulai te:rjadi kontak dengan orang-orang VOC yang telah tiba di Banten pada tahun 1596. Seperti halnya dalam catatan Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jawa pada masa pendudukan Inggris pada tahun 1811-1816 terdapat dokumentasi catatan pembangunan "Kota Batu Puteh" di Kotagede pada tahun 1593. Kota tersebut digambarkan sebagai kota besar yang dikelilingi benteng, dengan jumlah penduduk yang banyak. Berbagai aktivitas terutama perdagangan te:rjadi di kota tersebut bahkan dikunjungi oleh banyak orang dari luar. Kota tersebut juga telah ditata dengan baik, hal tersebut tampak dengan penataan pusat kerajaan, makam, masjid sebagai tempat aktivitas keagamaan dan pasar sebagai tempat aktivitas perekonomian. 
Riwayat Pelestarian : 1) Tahun 2010, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan kegiatan Penyusunan Rencana Induk Terpadu Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 2) Tahun 2010, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2010-2029 memasukkan Kotagede sebagai kawasan wisata budaya yang diproyeksikan untuk pengembangan cluster-cluster kawasan pariwisata yang pemanfaatan ruang dan cagar budayanya ditujukan untuk kegiatan pariwisata melalui pengendalian pemanfaatan ruang; dalam rencana fungsi pusat permukiman Kota Yogyakarta, Kotagede diprioritaskan pada fungsi administrasi kota/kecamatan, pusat pelayanan sosial (kesehatan/keagamaan dll), pusat produksi pengolahan dan pusat kegiatan pariwisata. 3) Tahun 2011, Gubernur DIY menetapkan Kotagede sebagai Kawasan Cagar Budaya. 4) Tahun 2014, Pemerintah Daerah Provinsi DIY menetapkan panduan arsitektur bangunan baru bernuansa budaya daerah, pada Kawasan Cagar Budaya Kotagede memakai gaya arsitektur Tradisional Jawa atau Klasik. 5) Tahun 2015, Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Forum Badan Pengelola Cagar Budaya Kotagede Daerah Istimewa Yogyakarta Masa Bakti Tahun 2015-2018. 6) Tahun 2015, Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan  Zonasi Kota Yogyakarta Tahun 2015-2035 memasukkan Kotagede ke dalam Zona Lindung yang meliputi Zona Cagar Budaya, Zona Terbuka Hijau dan Zona Pelindungan Setempat. Pada Zona Cagar Budaya memasukkan Kotagede sebagai subzona cagar budaya bersejarah dan ilmu pengetahuan. 7) Tahun 2017, Pemerintah Daerah DIY menetapkan Satuan Ruang Strategis Kasultanan pada Tanah Keprabon yang antara lain meliputi Masjid dan Makam Raja Mataram di Kotagede dalam hal arahan tata ruang dan pemanfaatan ruang. 8) Tahun 2019, Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta melakukan kegiatan Pembinaan dan Pengelolaan Permuseuman melalui Kajian Tata Pamer dan Koleksi Living Museum Kotagede. 9) Tahun 2019, Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Kelompok Kerja Teknis Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 10) Tahun 2020, Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Kelompok Kerja Teknis Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 11) Tahun 2021, Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 memasukkan Kotagede sebagai salah satu klaster kawasan pusat kegiatan pariwisata yang merupakan area terpadu yang dikembangkan secara tematik dengan fokus pada pelayanan kegiatan pariwisata; serta memasukkan KCB Kotagede sebagai salah satu Kawasan Strategis Kota dari Sudut Kepentingan Sosial dan Budaya. 12) Tahun 2021, Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Yogyakarta Tahun 2021-2041 memasukkan Kotagede ke dalam Zona Lindung yang meliputi Zona Cagar Budaya (SWP F pada Blok F.2 dan Blok F.3; serta di SWP M pada Blok M.1 dan Blok M.7). 13) Tahun 2021 Gubernur DIY menetapkan Pembentukan Kelompok Kerja Teknis Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kotagede. 14) Tahun 2022, Gubernur DIY menetapkan delineasi Satuan Ruang Strategis masjid dan makam raja Mataram dl Kotagede.
Riwayat Pemanfaatan : Kotagede memiliki fungsi ekonomi sejak mulai tumbuh dan berkembangnya pemukiman di sekitar Kotagede. Saat ini, Kotagede masih menjadi pusat ekonomi masyarakat dengan berbagai komoditas dagang seperti perak, batik, makanan tradisional dan lain sebagainya. Meskipun, terjadi perubahan profesi masyarakat jika dilihat berdasarkan toponim yang masih ada saat ini. Akan tetapi, Kotagede masih menjadi pusat ekonomi yang mempertahankan hari pasar. Selain itu, saat ini Kotagede juga berperan penting dalam kegiatan pariwisata di Yogyakarta. Walaupun kedatangan wisatawan berawal dari budaya ziarah dan ketertarikan terhadap perak, saat ini mulai banyak wisatawan yang datang untuk menikmati Gaya Arsitektur Kotagede, Tinggalan Sejarah Budaya dan Kesenian yang masih dilestarikan oleh masyarakat.
Nilai Sejarah : Kota Gede yang semula merupakan permukiman kemudian berkembang menjadi ibukota Kerajaan Mataram-Islam yang memiliki struktur pola ruang khas dengan komponen yang menunjukkan fungsi sebagai ibu kota kerajaan abad ke-16 sampai dengan abad ke-1 7 an tara lain pemerintahan (keraton), peribadatan (masjid), perekonomian (pasar), ruang publik (alun-alun), pertahanan Uagang dan benteng), serta permukiman (untuk sentana, abdi dalem, dan masyarakat yang saat ini ditunjukkan dengan toponimi). 
Nilai Ilmu Pengetahuan : Kota Gede memperlihatkan bukti fisik berupa struktur jagang, sisa struktur benteng, pasar, masjid, makam, toponimi permukiman tradisional. 
Nilai Budaya : Kawasan Cagar Budaya Kotagede merupakan cikal bakal ibukota Kerajaan Matararn-Islarn di Jawa. 
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kasunanan Surakarta, Balai Pele
Pengelolaan
Nama Pengelola : Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Kasunanan Surakarta, Balai Pele
Catatan Khusus : -