Loading

Kawasan Cagar Budaya Kotagede

Status : Kawasan Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

Kawasan Cagar Budaya Kotagede berada di daerah Prenggan Kecamatan Kotagede, Kabupaten Kota Yogyakarta, Kawasan Cagar Budaya Kotagede dapat dikategorikan kedalam Kawasan masa Islam (1 M - 1500 M)

Status : Kawasan Cagar Budaya
Periodesasi : Islam
Alamat :

SK Gubernur : SK Gub Nomor 131/KEP/2023


Dimensi Benda : Panjang
Lebar
Tinggi
Tebal
Diameter
Berat
Ciri Fisik Benda
Ciri Fisik Benda
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Tokoh : Ki Ageng Pemanahan (Ki Ageng Mataram), Panembahan Senopati, dan Sultan Agung.
Peristiwa Sejarah : Berdasarkan informasi yang didapatkan dari sumber literatur dan hasil wawancara kepada narasumber dapat diketahui bahwa peristiwa di masa lalu sebelum terbentuknya Kotagede berawal pada pemberian hadiah Sultan Hadiwijaya (Raja Pajang) kepada Ki Ageng Pemanahan atas bantuannya mengalahkan Aria Jipang. Ki Ageng Pemanahan beserta adiknya Ki Juru Martani serta anaknya Sutawijaya yang kemudian diberi gelar dan diangkat menjadi anaknya yaitu Ngabehi Loring Pasar. Berdasarkan data dari Babad dan tulisan De Graaf, angka tahun babad alas bervariasi ada yang menyebutkan pembangunan dalem selesai pada tahun 1578, 1591 bahkan 1610. Angka tahun ini akhirnya disimpulkan bahwa babad alas dilakukan pada pertengahan Abad ke-16. Wilayah yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam itu kemudian dikuasai oleh Ki Ageng Pemanahan dengan mendirikan pemukiman penduduk serta membuat sarana pendukung. Menurut Bapak Natsir, kedatangan Ki Ageng Pemanahan dengan membangun sebuah perkampungan kemudian mulai terbentuk kegiatan ekonomi sosial dan mulai tumbuhlah Pasar sebagai pusat perekonomian daerah. Berdasarkan data De Graaf, enam tahun setelah membuka alas Ki Ageng Pemanahan kemudian meninggal dan dimakamkan di belakang Masjid Gede Mataram. Kekuasaan kemudian diberikan kepada anaknya Sutawijaya yang kemudian dikenal dengan julukan Panembahan Senopati yang menjadi raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Panembahan Senopati kemudian mendirikan keraton yang saat ini data artefaktualnya tidak ditemukan namun masih terdapat di data toponim wilayah. Akan tetapi, berdasarkan informasi masyarakat bahwa bekas keraton terdapat di Dusun Kedhaton tepatnya di Situs Watu Gilang yang dianggap oleh masyarakat sebagai bekas singgasana Panembahan Senopati. Selain itu, pembangunan komponen kota islam lainnya seperti benteng,jagang, dan infrastruktur lainnya. Bekas tinggalan benteng dan jagang masih ditemukan di Benteng Cepuri I dan II yang melingkupi Area Kedhaton serta Dalem, sedangkan jagang terdapat di sampingnya. Jagang berupa jurang yang dalam yang diindikasikan memiliki fungsi keamanan serta pembagian wilayah keraton dan luar keraton. Selain itu, bukti benteng juga  ditemukan berupa Baluwarti yang mengelilingi beberapa kelurahan antara lain Klitren, Prenggan, Mandarakan, Jagalan, Sayangan, Lor Pasar, Pandean, Alun-alun, dan Pasar. Tinggalan lain berupa Alun-alun berupa toponim yang saat ini berupa pemukiman padat penduduk. Selain itu, Masjid Gede Mataram dan Kompleks Pemakaman Kotagede saat ini masih dapat dilihat dan dikunjungi, serta taman kerajaan yang dibangun oleh Sultan Agung di halaman kerajaan. Kotagede merupakan Pusat pemerintahan Mataram Islam yang dikuasai oleh 3 raja yaitu Panembahan Senopati (..-1604), Panembahan Seda ing Krapyak (1604-1613) serta Sultan Agung Senapati Ing Alaga Abdurrahman (1613-1646 M). Kemudian pusat pemerintahan dipindahkan oleh Amangkurat I ke Plered. Berdasarkan data sejarah, meskipun pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered, Kotagede masih mempunyai peran penting dalam perekonomian kerajaan. Kotagede menjadi pusat perekonomian dari dulu sampai sekarang bahkan menurut informasi Bapak Natsir, Kotagede merupakan suplai perak terbesar yang ada di Nusantara. Perak Kotagede bukan hanya terkenal di Nusantara melainkan dikenal oleh negara lain seperti Belanda, Amerika, dan Eropa. Bapak Natsir pernah didatangi oleh Peneliti Belanda yang mempertanyakan asal perak Kotagede yang saat ini terdapat di Museum Trophen berjumlah 500 buah. Setelah ditelusuri berdasarkan inisial pembuatnya, perak-perak tersebut merupakan hasil buatan pengrajin perak di masa lalu dengan beberapa jenis perak seperti tusuk konde, jepit biting rambut dengan ornamen kumparan perak yang sangat indah. Data toponim Kotagede menunjukkan adanya pembagian kelompok masyarakat berdasarkan profesi dan jabatan. Toponim yang menunjukkan jabatan antara lain: Lor Pasar (kediaman Panembahan Senopati yang bergelar Loring Pasar), Prenggan (Dalem Pangeran Pringgolaya), Trunojayan (Tempat tinggal Trunojayan), Bumen (Kediaman Pangen Mangkubumi), Jagaragan (Kediaman Pangeran Jagaraga), Boharen (Pemukiman Buhari), Jayapranan (Kediaman Jayapranan), Singosaren (Kediaman Pangeran SIngosari), Kauman (Pemukiman para ulama), Mandarakan (Kediaman adipati Mandaraka), dan Tegalgendu (Pemukimn orang kalang). Toponim yang menunjukkan profesi antara lain: Samakan (Pemukiman para penyamak kulit), Pandheyan (Pemukiman para pandai besi), Mutihan (Pemukiman Abdi dalem mutih atau a’lim ulama), Sayangan (Pemukiman para pandai tembaga), Jagalan (Pemukiman para penyembelih hewan ternak), Mranggen (Pemukiman para pembuat sarung besi, tombak serta ukiran-ukiran kecil), Kemasan (Pemukiman para pengrajin emas), dan  Kritenan (Pemukiman para pengrajin intan). Pada Perjanjian Giyanti tahun 1755, setelah pemberontakan yang terjadi dalam memperebutkan tahta kerajaan, sesuai kesepakatan Pangeran Mangubumi, Pakubuwono III dan Pihak Belanda, Kawasan Kotagede dibagi menjadi dua bagian dengan pembagian yang rata antara wilayah, jumlah dan jumlah penduduk. Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa Makam Kotagede dan Pasar Kotagede merupakan dua komponen yang tidak terbagi ke dalam dua kerajaan namun tetap bersatu. Pada tahun 1920, pembagian wilayah masih berdasarkan area Kasultanan Yogyakarta dan Kasunan Surakarta yang lingkup area sebelah barat (Prenggan, Purbayan, Basen dan Alun-alun) milik Kasultanan Yogyakarta dan Lingkup area sebelah timur (Jagalan dan Joyopranan) milik Kasunanan Surakarta, dan pada tahun 1958 Kasunanan Surakarta dihapus dan bekas wilayahnya masuk ke dalam pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada tahun 1912, lahirlah Organisasi Muhammadiyah yang termasuk di dalamnya Syarikatul Mubtadi. Pada tahun 1940, Organisasi Muhammadiyah mendirikan masjid perak. Peristiwa lain adalah kedatangan Orang Kalang yang berasala dari luar WIlayah Kotagede pada masa pemerintahan Sultan Agung. Orang kalang dikenal memiliki keahlian pembuatan bangunan dan kerajianan. Terdapat berbagai versi tentang kedatangan Orang Kalang di Kotagede. Namun berdasarkan sumber literatur dan hasil wawancara bahwa Orang Kalang merupakan pendatang yang kemudian tinggal di daerah Tegalgendu yang berada di sebrang Sungai. Awalnya Orang Kalang merupakan kelompok masyarakat yang memiliki gerak terbatas namun pada tahun 1925, mereka mendapatkan kebebasan dari pihak keraton dan mereka mulai membuka usaha pegadaian. Usaha tersebut mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kesuksesan orang kalang dikenal oleh masyarakat Kotagede, kekayaannya yang melimpah terlihat dari bangunan-bangunan yang saat ini masih dapat dijumpai seperti Omah Dhuwur, Dalem Proyodranan, Kantor BPKCB, dan Bangunan Anshor Silver. Peristiwa lain yang berkaitan dengan Kotagede yaitu pembuatan Tugu Jumenengan Kotagede pada tahun 1940/1941 ketika Sultan HB IX naik tahta. Tugu Jumenengan dibangun sebagai simbol penghormatan Masyarakat Kotagede kepada Sultan. Kotagede juga tidak terlepas dari peristiwa kedatangan Orang Kalang yang berpengaruh pada perkembangan arsitektur yang tampak saat ini. Orang Kalang dikenal sebagai orang yang ahli membuat gerobak, perahu, dan keahlian lain di bidang ukiran. Berdasarkan informasi yang  didapatkan dari Bapak Erwito yang bersumber pada ensiklopedia yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dijelaskan bahwa Orang Kalang berasal dari Gombong yang kemudian diundang datang ke Kotagede dan merintis usaha penggadaian. Perintis awal yang terkenal yaitu Bapak Mulyo Suwarno dan usahanya kemudian dilanjutkan oleh Bapak Prawiro Suwarno yang dikenal dengan nama “Tembong”. Usaha penggadaian Orang Kalang lebih banyak diminati masyarakat dibanding usaha yang dibuka oleh Orang Belanda. Hal ini menyebabkan Pemerintah Belanda melakukan perubahan regulasi penggadaian untuk mengalahkan usaha Orang Kalang. Hal ini menyebabkan usaha penggadaian yang dimiliki Orang Kalang bangkrut. Kemudian Prawiro Suwarno diajak oleh salah satu Orang Belanda untuk membuka usaha intan berlian dan memonopoli candu. Usahanya berkembang pesat tidak hanya terkenal di Nusantara melainkan sampai Asia Tenggara. Harta melimpah yang dimiliki oleh Prawiro Suwarno kemudian ditunjukkan dengan merancang bangunan rumah tinggalnya berbeda dengan masyarakat Kotagede dengan menambahkan ornamen bergaya Eropa, Cina dan Arab. Ornamenornamen tersebut masih dapat ditemu sampai saat ini di beberapa bangunan seperti Anshor Silver, Omah Dhuwur, Kantor BPKCB, dan Natarn Silver.
Konteks : Kotagede merupakan tempat lahirnya Kerajaan Mataram Islam dan merupakan kerajaan islam yang mengalahkan Kerajaan Pajang. Pola tata ruang kawasan menunjukkan adanya kesinambungan budaya yang berasosiasi dengan pola tata ruang kerajaan islam dengan komponen yang sama seperti Demak, Cirebon, dan Banten. Komponen Kota Islam yang pada umumnya ditemukan yaitu Keraton (kedhaton, dalem) sebagai rumah tinggal raja dan pusat pemerintahan, Alun-alun sebagai pusat kegiatan sosial, Masjid sebagai pusat kegiatan peribadatan, Pasar sebagai pusat kegiatan perekonomian, benteng dan jagang sebagai pusat keamanan, pertahanan dan batas wilayah, dan pemukiman.
Riwayat Pemanfaatan : Kotagede memiliki fungsi ekonomi sejak mulai tumbuh dan berkembangnya pemukiman di sekitar Kotagede. Saat ini, Kotagede masih menjadi pusat ekonomi masyarakat dengan berbagai komoditas dagang seperti perak, batik, makanan tradisional dan lain sebagainya. Meskipun, terjadi perubahan profesi masyarakat jika dilihat berdasarkan toponim yang masih ada saat ini. Akan tetapi, Kotagede masih menjadi pusat ekonomi yang mempertahankan hari pasar. Selain itu, saat ini Kotagede juga berperan penting dalam kegiatan pariwisata di Yogyakarta. Walaupun kedatangan wisatawan berawal dari budaya ziarah dan ketertarikan terhadap perak, saat ini mulai banyak wisatawan yang datang untuk menikmati Gaya Arsitektur Kotagede, Tinggalan Sejarah Budaya dan Kesenian yang masih dilestarikan oleh masyarakat.
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Pemda DIY
Pengelolaan
Nama Pengelola : Pokjanis Kotagede
Catatan Khusus : Catatan Tambahan Tim Survei KCB Kotagede: Berdasarkan data yang didapatkan tim survei KCB Kotagede dari Dinas Kebudayaan daftar dusun yang masuk dalam area survei antara lain: Kelurahan Prenggan (Jalan Mondorakan, Pekaten, Trunojayan, Darakan, dan Prenggan Selatan), Kelurahan Purbayan (Pasegan, Bumen, Samakan, Dolahan, Boharen, Alun-alun, Purbayan, Dalem, Kebonan, dan Cokroyudan), Desa Jagalan (Sayangan, Dondongan, Kudusan, Krintenan, Celenan dan Citran ), Kelurahan Rejowinangun, Desa Singosaren (Dusun Joyopranan). Dalam proses survei terdapat beberapa rumah yang tidak memberikan izin tim survei untuk melakukan wawancara dan pendokumentasian bangunan. Catatan Tambahan Narasumber: Berdasarkan hasil wawancara kepada narasumber, selain perubahan fisik bangunan perubahan yang penting untuk dijadikan sebagai objek perhatian yaitu perubahan pola pikir masyarakat. Berdasarkan pengamatan narasumber teradi degradasi sosial masyarakat Kotagede. Satu hal yang paling penting yang banyak dibahas oleh Narasumber yaitu perubahan kondisi sosial masyarakat Kotagede yang sangat besar yang berdampak pada pola pikir yang bersifat intengible dan pada akhirnya berdampak pada tindakan. Masyarakat Kotagede sangat memahami bangunan rumah tinggal yang termasuk dalam kategori Cagar Budaya dan Warisan Budaya merupakan tempat yang harus dijaga dan dilestarikan karena mereka memahami apa yang mereka miliki merupakan hal penting yang harus dijaga. Masyarakat memahami bahwa membangun rumah berarti mereka membangun sebuah kehidupan. Permasalahan yang cukup besar yang banyak dihadapi oleh narasumber yang menyebabkan banyaknya rumah tradisional yang dijual adalah faktor ekonomi masyarakat. Ekonomi adalah permasalahan yang paling sensitif yang dihadapi oleh masyarakat, berbagai permasalahan yang muncul baik yang disebabkan oleh pembagian waris, kebutuhan finansial dan lain sebagainya. Bapak Natsir menegaskan bahwa tindakan masyarakat tersebut tidak terhitung sebagai bentuk ketidak pedulian masyarakat terhadap pelestarian warisan budaya, namun karena keadaan masyarakat yang berada dalam tekanan yang menyebabkan mereka melakukan tindakan tersebut. Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan narasumber disimpulkan bahwa perubahan masyarakat terjadi jika mereka mengalami peristiwa besar. Hal ini terlihat sejak masa reformasi, pasca reformasi dan pasca gempa. Pada awal abad 21, Kotagede yang memiliki pengrajin mulai mengembangkan usaha perak. Di masa lalu, jumlah pengrajin perak di Kotagede yaitu 627 pengrajin. Namun seiring perkembangan yang ada terjadi penurunan jumlah pengrajin yang disebabkan oleh harga bahan yang fluktuatif dan bahan baku yang sulit dicari.