Loading

Fragmen Kubur Peti Batu D.56i dan D.56

Status : Benda Cagar Budaya

Deskripsi Singkat

1. Fragmen Kubur Peti Batu D.56i 
Diketemukan dibawah pohon bambu disebelah timur lahanpertanian Bapak Marto Paino. D.56i difungsikan sebagaitalud penahan tanah.

2. Fragmen Kubur Peti Batu D.56j
Diketemukan dibawah pohon bambu disebelah timur lahan pertanian Bapak Marto Paino. D.56j difungsikan sebagai talud penahan tanah berdekatan dengan D.56i.

Status : Benda Cagar Budaya
Periodesasi : Prasejarah
Alamat : Ngawis 1 RT 03 / RW 1, Ngawis, Karangmojo, Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

SK Walikota/Bupati : SK BUP Gunungkidul 448/KPTS/2018


Lokasi Penemuan : Pekarangan Bapak Marto Paino
Bahan Utama : Batu Batu Putih
Keterawatan : /
Dimensi Benda : Panjang Fragmen Kubur Peti Batu D.56i: 85 cm; Fragmen Kubur Peti Batu D.56j: 58 cm
Lebar Fragmen Kubur Peti Batu D.56i: 30 cm; Fragmen Kubur Peti Batu D.56j: 48 cm
Tinggi Fragmen Kubur Peti Batu D.56i: 20 cm; Fragmen Kubur Peti Batu D.56j: 8 cm
Tebal -
Diameter -
Berat -
Ciri Fisik Benda
Warna : Putih
Ciri Fisik Benda
Warna : Putih
Fungsi Benda
Dimensi Struktur
Gambaran Umum Bentuk Bangunan
Konteks : Situs Sokoliman di Kecamatan Karangmojo merupakan situs Prasejarah masa Megalitikum dengan tinggalan arkeologisnya berupa Kubur Peti Batu, arca Menhir, dan Menhir. Pada masa Megalitikum, Kubur Peti Batu digunakan sebagai wadah penguburan secara primer, sedangkan Menhir merupakan perwujudan tokoh yang telah meninggal dunia. Kubur Peti Batujuga berfungsi sebagai media pemujaan kepada roh nenek moyang dan sebagai tanda peringatan. Peninggalan budaya masa lalu di Gondang dan Ngawis masih merupakan bagian kawasan Budaya Megalitikum Sokoliman yang memiliki keistimewaan terutama pada bentuk Kubur Peti Batu yang memiliki teknik Sponingen atau takikan. Sponingen atau takikan pada lempeng batu kubur berupa pahatan lurus membujur pada salah satu sisi (tepi batu) yang memiliki fungsi sebagai pengikat atau pengunci lempeng batu yang lain ketika dipasang.Wilayah Sokoliman dikenal memiliki banyak peninggalan Budaya Megalitik. Istilah Megalitik dikenal untuk menyebutkan salah satu budaya yang menggunakan batu-batu besar sebagai sarananya. Benda-benda batu tersebut dibuat dengan tujuan sakral seperti pemujaan terhadap nenek moyang. (Prasetyo B., 2015: 12) Pendukung tradisi Megalitik percaya bahwa arwah nenek moyang yang telah meninggal, masih hidup terus di dunia arwah. Mereka juga percaya bahwa kehidupan mereka sangat dipengaruhi oleh arwah nenek moyang. Keamanan, kesehatan, kesuburan dan lain-lain sangat dipengaruhi oleh bagaimana perlakuan mereka terhadap arwah nenek moyang mereka yang telah meninggal. Dengan perlakuan yang baik, mengereka mengharapkan perlindungan sehingga selalu terhindar dari ancaman bahaya. (Sukendar, 1996: 1) Sejak zaman Belanda, keberadaan situs-situs Megalitikum di Gunungkidul telah menarik ahli-ahli arkeologi, antara lain arkeolog Belanda bernama JL. Moens pada tahun 1934, kemudian Van der Hoop ( Heekeren, 1951:51 dalam Sumiati AS, 1980: 27) . Kemudian pada tahun 1968 Haris Sukendar melakukan pengamatan kembali terhadap obyek-obyek penelitian Van Der Hoop (Sumiati AS, 1980: 27). Kegiatan penyelamatan dan penelitian terhadap benda-benda Megalitik terus dilakukan. UGM melalui kegiatan PTKA telah mengadakan kajian strategis di wilayah kecamatan Karangmojo sejak tahun 2000. Kemudian BPCB DIY telah mengadakan kegiatan penyelamatan benda-benda hasil budaya Megalitikum di wilayah Sokoliman, Ngawis dan sekitarnya sejak tahun 1982. Kegiatan yang telah dilakukan diantaranya adalah dengan melakukan pengamanan, inventarisas, dan pemetaan. Untuk kegiatan pengamanan, Situs Sokoliman, Situs Gondang, dan Situs Bleberan sebagai Situs Megalitikum sekaligus digunakan sebagai lahan penampungan benda cagar budaya lepas (Menhir, Fragmen, arca, dsb). Meski tidak menutup kemungkinan masih banyaknya temuan lepas berupa Fragmen Megalitik yang masih terdapat di permukiman warga, kegiatan heregistrasi dan herinventarisasi terus dilakukan. Benda-benda tersebut umumnya terdapat di permukiman warga namun telah memiliki data berupa nomor inventarisasi. Seperti temuan Fragmen Kubur Peti Batu di pekarangan Bapak Sugito, di Sokoliman 2, Sokoliman, Kecamatan Karangmojo.Fragmen Kubur Peti Batu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari budaya Megalitikum yang pernah berkembang dan hidup di Gunungkidul. Temuan Fragmen Kubur Peti Batu dengan nomer inventaris D28 merupakan temuan arkeologis penting yang menyimpan informasi bagi sejarah perkembangan budaya Megalitikum. Untuk itu perlu diadakan kegiatan penelitian dan penyelamatan terhadap benda-benda tersebut sebelum mengalami kerusakan bahkan kehilangan. 
Nilai Sejarah : Fragmen Peti Kubur Batu D56i dan D56j dari Ngawis 1, Ngawis, Karangmojo merupakan bukti perkembangan kebudayaan manusia prasejarah di wilayah Yogyakarta. Pada dasarnya Peti Kubur Batu digunakan sebagai media pemujaan terhadap roh-roh nenek moyang.
Nilai Ilmu Pengetahuan : Fragmen Peti Kubur Batu D56i dan D56j dari Ngawis 1, Ngawis, Karangmojo mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahun khususnya bagi ilmu arkeologi, dan sejarah. Fragmen Peti Kubur Batu sebagai bagian dari struktur Peti Kubur Batu dapat digunakan sebagai kajian tentang rekonstruksi budaya masa lampau manusia pada jaman prasejarah sebelum mengenal agama.
Nilai Pendidikan : Fragmen Peti Kubur Batu sebagai bagian dari struktur Peti Kubur Batu merupakan bukti konkret hasil karya peradaban Masa Prasejarah di Indonesia, yang dapat digunakan sebagai objek pembelajaran bagi masyarakat khususnya ilmu Arkeologi, sejarah, dan budaya.
Nilai Budaya : Dari segi kebudayaan, eksistensi Peti Kubur Batu tersebut membuktikan bahwa Gunungkidul memiliki kebudayaan yang lebih tua sehingga memperkaya khasanah budaya Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta.  
Pemilik
Nama Pemilik Terakhir : Milik Negara (BPCB DIY) dengan nomor inventaris D.56i dan D.56j
Pengelolaan
Nama Pengelola : BPCB DIY (sekarang Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X)
Catatan Khusus : Koordinat pada SK: 49; X : 04612532 Y : 9122059Kondisi Saat Ini: Fragmen Kubur Peti Batu D.56i dan D.56j berada di alam terbuka, menjadi talud penahan tanah, lahan pertanian Bapak Marto Paino. Kondisi temuan yang berada di alam terbuka tersebut rentan mengalami kerusakan. Penyebab utama dapat ditunjukkan dengan banyaknya mikroorganisme yang tumbuh pada permukaan fragmen kubur peti batu. Mikroorganisme ini menyebabkan kerusakan lebih lanjut.