Petilasan Kembang Lampir merupakan sebuah bukit tempat Ki Ageng Pemanahan (ayah Sutawijaya atau Panembahan Senapati) melakukan tapa/semedi untuk mendapat wangsit/ petunjuk tentang wahyu keprabon. Dalam petilasannya Ki Ageng Pemanahan ditemui oleh Sunan Kalijaga dan oleh Sunan Kalijaga disuruh menghadap Sultan Pajang (Hadiwijaya). Mereka adalah satu perguruan. Petilasan Kembang Lampir berada di atas bukit (tanah yang tinggi). Untuk mencapai petilasan harus melewati pintu masuk dan beberapa puluh anak tangga yang dibangun permanen. Di pintu masuk terdapat lambang kraton Kasultanan Yogyakarta. Bangunan petilasan dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX, sekitar tahun 1970an. Bangunan yang ada di petilasan itu antara lain: bangunan induk (Bangsal Proboyekso) sebagai tempat penyimpanan pusaka yang berujud mahkota. Proboyekso berupa bangunan terbuka dan diberi penutup (diberi dinding / kotangan) yang terbuat dari kayu setinggi kurang lebih 1. 25 cm. Para pengunjung tidak diperbolehkan masuk di dalam tempat penyimpanan pusaka. Yang boleh masuk sampai di dalam bangsal Praboyekso hanya utusan dari Kraton Yogyakarta. Setiap malam Selasa Wage Kraton Kasultanan Yogyakarta mengutus abdi dalem untuk membawa sesaji dan datang ke bangsal Praboyekso di Kembang Lampir. Para pengunjung tidak boleh masuk ke bangsal Proboyekso, yang bisa masuk ke Proboyekso hanya utusan dari kraton. Setiap 35 lima hari sekali ( selapan dina), Kraton Kasultanan Yogyakarta selalu melakukan persembahan/kirim sesaji ke Kembang Lampir. Selain bangsal Proboyekso, ada dua bangsal paseban yang berada di kanan kiri tangga di bagian atas. Paseban berupa bangunan terbuka. Paseban bagian kanan konon diperuntukkan bagi Kanjeng Ratu Kidul. Paseban di sisi kiri diperuntukkan bagi Panembahan Senapati. Paseban kiri sekarang dipakai untuk para pengunjung yang melakukan tirakat. Pertapaan di atas bukit itu saat ini diberi pagar dari bambu dan dibuat mirip kandang. Pengunjung juga tidak diperbolehkan masuk di pertapaan tersebut. Bangsal paseban kanan itu konon untuk Ratu Kidul dan yang kiri untuk Panembahan Senapati. Bangsal Paseban yang sebelah kiri sering dipakai untuk tirakat para pengunjung. Bangunan Paseban merupakan bangunan terbuka. Pengunjung yang akan memasuki tempat itu harus sesuai dengan jadwal yang sudah dibuat oleh petugas. Waktu kunjungan Senin antara pukul 08.00 – 16.00 dan Kamis antara pukul 07.00 – 17.00.
Selain bangunan Praboyekso dan Paseban, di atas bukit tumbuh pohon Wegig, pohon yang dipercaya masyarakat tidak tumbuh menjadi tua, dan konon hanya tumbuh di Kembang Lampir. Ada tiga patung baru, yakni patung Kiai Ageng Butuh, Kiai Ageng Pemanahan dan Panembahan Senapati, yang konon untuk menghormati para leluhur Mataram.
Sejarah Pembangunan
Kembang Lampir merupakan salah satu tempat yang “istimewa†bagi Kraton Kasultanan Yogyakarta. Hal itu ditandai dengan pembangunan daerah itu oleh Sri Sultan HB IX pada tahun 1971-1977. Di samping itu Kasultanan juga menempatkan abdi dalem kasultanan yang bertugas mengurusi tempat tersebut. Pembangunan dilanjutkan oleh HB X yakni membangun kamar mandi, dapur dan bangunan untuk juru kunci. Pada tahun 2017 ada tiga abdi dalem yakni Mas Lurah Suraksa Sekarsari; Bekel Sepuh Suraksa Cempakasari dan Bekel Enom Suraksa Puspitasari.
Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Fungsi Bangunan | : | Pemujaan |
Tema | : | Religi/Keagamaan |
Fungsi Situs | : | Pemujaan |
Jumlah WBCB | : | - |
Fungsi | : | Pemujaan |
Peristiwa Sejarah | : | Berdasarkan cerita dalam babad seperti yang diungkap oleh De Graaf, Sejarah Kerajaan Mataram bermula dari sebidang tanah bernama Alas Mentaok, sisa-sisa reruntuhan Kerajaan Medang Kamulan. Tanah itu dihadiahkan Sultan Hadiwijaya dari Pajang kepada Ki Gede Pamanahan dan anaknya, Danang Sutawijaya. Jaga Pati, seorang pejabat istana, dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Speelman tanggal 16 Maret 1677 menceritakan bahwa Ki Gede Pamanahan adalah “seorang pejabat tinggi dan pembantu pribadi....Sultan Pajang...karena kebaikan gustinya ia mendapat kedudukan yang sangat tinggi; raja ini setelah mengadakan perang terhadap kota Soude dekat Demak menghadiahkan kepadanya Kota Mataram yang ketika itu masih kecil†(H.J. de Graaf, 1985: 41). Ki Ageng Pemanahan bersama Ki Penjawi dan Sutawijaya berhasil memenangkan peperangan melawan adipati Jipang Arya Penangsang. Dan Sultan Hadiwijaya memberi hadiah sebuah daerah permukiman. Alas Mentaok adalah wilayah yang dipilih oleh Pemanahan.keberangkatan Ki Gede Pemahanan dan anaknya ke Mataram tidak serta merta. Sultan Hadiwijaya yang percaya dengan ramalan Sunan Giri, “Tanah Mataram akan melahirkan raja-raja besar†senantiasa mengulur-ngulur waktu. Izin itu baru diperoleh setelah Sunan Kalijaga campur tangan. Semenjak kedatangannya di Alas Mentaok tahun ± 1570, Ki Gede Pemanahan mengembangkan wilayah itu menjadi sebuah kadipaten dan menamakannya sebagai Kadipaten Mataram. Kadipaten ini menjadi salah satu vasal Kerajaan Pajang.Di bawah kepemimpinan Ki Gede Pemanahan Kadipaten Mataram berkembang dengan pesat. Kemakmuran Kadipaten Mataram mendorong Ki Gede Pamanahan mengganti namanya menjadi Ki Gede Mataram. Bersama kaumnya menikmati kehidupan tanpa kesulitan. Di sela-sela waktunya, ia giat bertapa "karena mengetahui apa yang pernah diramalkan oleh Sunan Giri, yakni bahwa kelak di Mataram akan muncul raja-raja besar yang berkuasa atas seluruh tanah Jawa". Ia mengharap bahwa keturunannya yang akan menjadi raja-raja itu (H.J. de Graaf, 1985: 52). |
Nama Pemilik Terakhir | : | Kasultanan |
Nama Pengelola | : | Kasultanan |