Dimensi Benda | : |
Panjang Lebar Tinggi Tebal Diameter Berat |
Komponen Pelengkap | : |
|
Peristiwa Sejarah | : | Berdasarkan cerita dalam babad seperti yang diungkap oleh De Graaf, Sejarah Kerajaan Mataram bermula dari sebidang tanah bernama Alas Mentaok, sisa-sisa reruntuhan Kerajaan Medang Kamulan. Tanah itu dihadiahkan Sultan Hadiwijaya dari Pajang kepada Ki Gede Pamanahan dan anaknya, Danang Sutawijaya. Jaga Pati, seorang pejabat istana, dalam suratnya kepada Gubernur Jenderal Speelman tanggal 16 Maret 1677 menceritakan bahwa Ki Gede Pamanahan adalah "seorang pejabat tinggi dan pembantu pribadi....Sultan Pajang...karena kebaikan gustinya ia mendapat kedudukan yang sangat tinggi; raja ini setelah mengadakan perang terhadap kota Soude dekat Demak menghadiahkan kepadanya Kota Mataram yang ketika itu masih kecil" (H.J. de Graaf, 1985: 41). Ki Ageng Pemanahan bersama Ki Penjawi dan Sutawijaya berhasil memenangkan peperangan melawan adipati Jipang Arya Penangsang. Dan Sultan Hadiwijaya memberi hadiah sebuah daerah permukiman. Alas Mentaok adalah wilayah yang dipilih oleh Pemanahan.keberangkatan Ki Gede Pemahanan dan anaknya ke Mataram tidak serta merta. Sultan Hadiwijaya yang percaya dengan ramalan Sunan Giri, “Tanah Mataram akan melahirkan raja-raja besar†senantiasa mengulur-ngulur waktu. Izin itu baru diperoleh setelah Sunan Kalijaga campur tangan. Semenjak kedatangannya di Alas Mentaok tahun ± 1570, Ki Gede Pemanahan mengembangkan wilayah itu menjadi sebuah kadipaten dan menamakannya sebagai Kadipaten Mataram. Kadipaten ini menjadi salah satu vasal Kerajaan Pajang.Di bawah kepemimpinan Ki Gede Pemanahan Kadipaten Mataram berkembang dengan pesat. Kemakmuran Kadipaten Mataram mendorong Ki Gede Pamanahan mengganti namanya menjadi Ki Gede Mataram. Bersama kaumnya menikmati kehidupan tanpa kesulitan. Di sela-sela waktunya, ia giat bertapa "karena mengetahui apa yang pernah diramalkan oleh Sunan Giri, yakni bahwa kelak di Mataram akan muncul raja-raja besar yang berkuasa atas seluruh tanah Jawa". Ia mengharap bahwa keturunannya yang akan menjadi raja-raja itu (H.J. de Graaf, 1985: 52). |
Riwayat Pelestarian | : | Menurut penuturan juru kunci yang berstatus sebagai abdi dalem kraton, Petilasan Kembang Lampir dibangun oleh Sri Sultan Hamengku Buwana IX sekitar tahun 1971-1977. Semula daerah itu hanya berupa bukit dengan semak belukar, kemudian diberi pagar keliling dari batu berplester, tangga naik juga dari batu berplester, dua bangunan paseban dan proboyekso. Pembangunan dilanjutkan oleh HB X yakni membangun tempat parkir,kamar mandi, dapur dan bangunan untuk juru kunci. HB X juga membangun tiga patung di area tersebut, yakni Ki ageng Butuh, Ki ageng Pemanahan dan Penambahan Senapati.Pada tahun 2017 ada tiga abdi dalem dari Kasultanan Yogyakarta yang bertugas di Petilasan Kembang Lampir adalah Mas Lurah Suraksa Sekarsari; Bekel Sepuh Suraksa Cempakasari dan Bekel Enom Suraksa Puspitasari. |
Nilai Sejarah | : | Memiliki fakta mental dan fakta sosial yang diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Masyarakat setempat percaya bahwa ditempat tersebut Ki Gede Pemanahan (ayah Sutawijaya, yang kemudian menjadi raja pertama Kerajaan Mataram di Kotagede) mendapatkan wahyu/ petunjuk tentang akan lahirnya seorang raja besar dari keturunannya yang akan menguasai tanah Jawa. Ramalan Sunan Giri sewaktu Ki Pemanahan masih berada di Pajang, terus diupayakan oleh Pemanahan dengan cara meneges kepada Yang Kuasa dengan cara laku prihatin,mesu budi, bertapa, untuk mendapatkan ‘jawaban’ atas ramalan tersebut. |
Nama Pemilik Terakhir | : | Kasultanan |
Nama Pengelola | : | Kasultanan |